MAAF
Dia memang tidak terlalu cantik di lihat dari
mataku, tapi dia istimewa di hatiku.
Entah apa yang membuatnya begitu istimewa di hatiku, dan entah sejak kapan aku melihatnya
begitu istimewa. Dia unik, ceria, tidak pernah aku melihatnya sedih, kalau
melihatnya bingung aku sering, dan itu membuat wajahnya jadi begitu lucu. Aku hanya bisa memandangi wajahnya dari
jarak lebih dari satu meter, seperti yang sedang ku lakukan sekarang. Aku
selalu penasaran apa yang sedang dia bicarakan dengan temannya itu, sehingga
dia sangat bersemangat untuk bercerita pada temannya. Aku senang melihat garis
senyuman di wajahnya yang tidak pernah hilang.
Aku langsung mengalihkan pandanganku dan
menahan senyum ketika wanita itu tiba-tiba
melihat ke arahku. Tidak lama kemudian aku mulai memperhatikannya lagi. Begitu
manis tawa yang ada di wajahnya.
“Hayoo... lagi merhatiin siapa tuh Ray?”.
“Agh, engga merhatiin siapa-siapa kok”. Asem kenapa sih setiap aku sedang memperhatikan
gerak tubuh gadis itu dengan semangat si muka krikil Edi meenggangguku?
“Gw
tahu siapa yang lagi kamu perhatiin”. Ledek Edi
setelah berhasil mengagetkanku dan duduk dengan santainya di sebelahku.
“Udah deh jangan berisik kenapa?”. Aku mulai
kesal setiap Edi berhasil menebak
pikiranku. Jelas dia tahu siapa yang lagi aku perhatiin dari tadi. Edi sudah lama jadi sahabatku. Dan dia tahu semua
tentang hatiku ke gadis itu. Dan hanya dia yang tahu.
Aku hanya bisa memperhatikannya saat kami
berada di dalam kelas, itupun tidak setiap saat. Aku harus mengalihkan perhatianku
darinya ketika dosen sudah ada di depan kelas. Dan setelah kelas usai kami
berpisah tanpa kata.
☼☼☼
“Hi, sayang”. Sapa Chantika dan mengecup pipi
kananku.
“Hi”. Balasku singkat. Dia memang kekasihku,
tapi sungguh aku tidak benar-benar mencintainya, hanya saja ada hal kecil yang
‘memaksa’ ku untuk menjadi kekasihnya. Dan itu membuatku jadi tidak nyaman.
“Boleh aku duduk disini?”. Dia melontarkan
pertanyaan bodoh.
“Duduk saja, itukan bukan milikku, jadi
siapapun boleh duduk di situ”. Dan dia duduk di depanku.
“Kamu kenapa sih? Kok jutek gitu?”. Tanyanya
kesal.
“Kau tidak lihat aku sedang mengetik tugas di
laptopku, jadi aku harap kau ke sini bukan untuk meenggangguku”. Jawabku tetap
fokus pada layar laptop yang ada di hadapanku. Aku tidak benar-benar fokus pada
tugasku, tapi aku fokus pada bayangan yang muncul di layar laptopku. Aku melihat
wanita istimewa itu sedang makan siang di bangku
tidak jauh di belakangku.
“Kamu ngerjain tugas apa sih? Kok
senyum-senyum gitu? Emang di tugasnya ada
yang lucu?”. Tanya Chantika penasaran dan
menggeser kursinya ke sampingku. “Apa yang kau kerjakan
Ray?”.
Dengan cepat aku menutup layar laptopku,
karena di layar laptopku terdapat huruf-huruf yang tersusun tidak beraturan. Kalau
saja Chantika tahu aku tidak fokus dengan tugasku, itu
akan membuat urusan menjadi panjang. “Aku udah sering bilangkan ke kamu, aku engga
suka di ganggu kalau lagi buat tugas, itu akan memperlambat aku menyelesaikan
tugasku”. Kataku kesal.
“Tapikan aku cuma pengin tahu tugas apa yang
kau buat, masa engga boleh?”
“Engga!”
“Baiklah aku akan meninggalkanmu dengan tugasmu itu. Bye Ray”.
Ia meninggalkanku setelah mengecup pipi kiriku.
“Terima kasih”. Setelah Chantika meninggalkanku, aku kembali membuka
laptopku dan mencari bayangan wanita itu kembali.
Saat aku tidak menemukan bayangan itu lagi, aku membalikkan tubuhku untuk
mencarinya dengan mataku.
“Dia udah keluar dari kantin. Tuh”. Edi berhasil membuatku kembali
terkejut dan menunjukkan pintu kantin dimana wanita itu keluar setelah dia duduk di kursi
sebelahku. Sial gara-gara Chantika aku jadi tidak bisa melihat wanita itu lebih lama.
“Sampai kapan yah Tika engga
tahu dengan kebiasaan lo yang suka memperhatikan
Vanes?”. Tanya Edi
yang tiba-tiba. Benar kata Edi, sudah satu
tahun aku memperhatikan wanita itu dan Chantika
engga pernah tahu.
“gw
harap dia engga
pernah tahu soal ini”. Jawabku membayangkan apa yang
akan terjadi jika Chantika tahu hal ini. Tapi aku harap itu
hal baik jika memang Chantika harus tahu.
☼☼☼
Sudah satu minggu ini wanita itu berpenampilan sangat feminin, itu
membuatnya terlihat sangat cantik di mataku.
Di tambah keceriaan yang ada di wajahnya yang tidak pernah pudar, membuat
hatiku bahagia walau hanya bisa melihatnya dari pojokkan kelas.
“Sayaaangg......”. Tiba-tiba Chantika muncul dan berlari kearahku sehingga
membuyarkan semua lamunanku.
“Ngapain kamu masuk ke kelasku?”. Tanyaku
bingung dengan kehadirannya yang tiba-tiba ini.
“Aku ngambil kelas atas, jadi selama satu
semester aku sekelas sama kamu, dan aku bisa seharian ketemu sama kamu selama
kuliah. Aku duduk di sini yah, aku engga mau jauh-jauh dari kamu”. Jelasnya
dengan gaya yang sok imut, dan duduk di sampingku.
“WHAT?”. Kataku terkejut dan berhasil membuat
semua anak dalam kelas melihat kearah kami dengan wajah kaget. “Sorry-sorry”,
kataku keseluruh anak yang melihat ke arahku.
“Iya, aku sekelas sama kamu untuk mata kuliah
ini. Kamu pasti senang yah? Terkejutnya sampe buat semua anak kelas ngeliat ke arah kita gitu”.
Sungguh aku memang terkejut dan tidak senang
pastinya. Di luar kelas saja sudah membuatku sangat kesal dengan sikapnya,
bagaimana kalau selama satu semester dia ada dikelas? Oh Tuhaan. Itu bencanan besar untukku selama semester
ini.
☼☼☼
Sudah dua
bulan lebih sejak Chantika
masuk ke kelasku. Tiap mata kuliah yang sekelas dengannya, dia selalu membuatku
risih. Tiap masuk kelas selalu bersama denganku, tiap ada materi yang dia tidak
mengerti selalu tanya padaku. Kenapa dia tidak tanya ke dosen? Menyebalkan! Yang
lebih bikin aku kesal, dia selalu bermanja-manja denganku di depan Vanes! Tapi wajah Vanes biasa saja, sepertinya dia ngga
punya perasaan yang sama denganku.
“Ayang.! Kamu dengar engga sih aku ngomong
apa?”. Tanya Chantika ketika aku sedang memperhatikan Vanes yang berpakaian serba biru duduk tidak jauh
di depanku.
“Kenapa sayang?”. Jawabku berpura-pura
romantis, aku ingin tahu respon Vanes
jika aku romantis pada Chantika.
“Kamu dari tadi engga dengerin aku yah? Kamu mikirin apa sih?”.
“Aku engga mikirin
apa-apa kok, aku Cuma lagi
mikirin kamu sayang”. Jawabku mengelus rambut Chantika
dengan lembut, tapi pandangan mataku ke arah Vanes
untuk melihat reaksi dia. Tapi aku tidak melihat respon yang aku harapkan.
Ketika aku memperhatikannya tiba-tiba ia melihat ke arahku dan tersenyum, aku
tidak membalas senyumannya itu. Kenapa dia tersenyum padaku ketika aku sedang
memperlakukan Chantika dengan romantis, tapi tiap aku bersikap
cuek pada Chantika dia tidak pernah melihat ke arahku.
“Ih.. kamu romantis deh, akukan di samping
kamu tapi kamu mikirin aku”. Chantika
mengelus-ngelus kedua pipiku. Aku tersenyum pahit. Rasanya aku ingin muntah
dengan kata-kata yang aku ucapkan sebelumnya ke dia.
Ketika aku melihat Vanes keluar kelas, engga
lama kemudian aku meminta izin dosen
yang berada di kelas untuk keluar sebentar. Setelah aku mencuci tangan
untuk meyakinkan bahwa aku habis dari toilet, aku menunggu Vanes keluar dari toilet wanita. Dan ketika aku melihat Vanes keluar dari toilet, Vanes mendatangi
temannya yang duduk di bangku di depan pintu kelas, dan tanpa sengaja aku
mendengar percakapan mereka. Ku dengar dia mau liburan
ke Bali setelas UAS, ini kesempatan bagus buat deketin dia. UAS itu minggu
depan dan aku harus merencanakan sesuatu untuk menjauhkan Chantika dariku untuk sementara aku pergi ke Bali untuk mendekati Vanes.
Vanes berbincang sedikit
lama dengan temannya, dan aku langsung kembali ke kelas setelah mendengar sedikit perbincangan mereka dengan menutupi rasa senangku,
agar Chantika tidak curiga.
☼☼☼
Hari ini hari terakhir UAS, yaah aku
sangat bahagia, setelah menanti dua
minggu untuk hari ini, akhirnya tiba juga. Dengan semangat
aku melangkahkan kaki meninggalkan kelas untuk pulang ke rumah dan menuju
bandara.
“Sayaaaaang.... kamu udah keluar?” Baru
beberapa langkah keluar pintu kelas Chantika
tiba-tiba muncul dari belakangku dan langsung merangkul tangan kiriku. “Cepet
banget, pasti pengin cepet-cepet ketemu aku yah?”. Sial, sang peengganggu muncul lagi. Gerutuku dalam hati.
“Lah emang mau berapa lama aku
ngerjain soal yang jumlahnya cuma lima essay?” jawabku sedikit jutek.
“Oh.. soalnya cuma lima? Emang yah
pacar aku ini pinter, ngerjain lima soal dalam waktu lima belas menit”.
Hah? 15 menit? Lalu aku
melihat jam tanganku, bener juga aku cuma ngerjain soal-soal itu dalam waktu 15
menit. Ternyata semangatku untuk ke Bali bertemu Vanes membuat otakku mudah mengerjakan
soal-soal tadi.
“Loh kok kamu ada disini? Bukannya kamu udah
beres ujian dari kemarin yah?” Tanyaku yang baru tersadar bahwa Chantika seharusnya engga seharusnya di sini.
“Iya, aku mau refreshin otak aku nih pusing gara-gara ujian kemarin, jadi
aku mau shopping trus kesalon sama kamu. Kamu maukan nemenin aku?”
“Loh kok mendadak? Biasanya kamu sms
dulu trus minta di jemput?” Mampus,
akukan harus kebandara dua jam
lagi, mana cukup kalau nemenin dia shopping sama kesalon?
“Tadi aku ada perlu sama dosen Rara,
jadi yah sekalian aja aku nungguin kamu di depan kelas kamu.”
Aku
harus mempercepat dia shopping hari ini. “Yaudah
yuk”. Kamipun berjalan ketempat parkir untuk mengambil mobilku, dan dengan
kecepatan tinggi kami menuju tempat mall biasa Chantika belanja.
Dia
engga
pernah protes setiap aku membawa mobil dengan kecepatan tinggi, meski tiap aku jalan
dengannya aku selalu mempercepat waktuku agar engga berlama-lama dengannya. Hanya dengan
alasan ‘cita-citakukan pengin jadi pembalap jadi harus terbiasa’ dan dia
mengerti. Tapi dia selalu memperlambat waktuku
untuk mencari-cari pakaian yang sebernarnya engga
ingin dia beli. Sudah satu
jam kami mutar-mutar mall ini, tapi satu bajupun belum ada yang dia beli.
Sedangkan waktuku menuju bandara hanya tinggal satu jam lagi, belum kalau terjebak macet.
Aku langsung menghubungi Edi
mencari pertolongan, ini bukan untuk pertama kalinya aku meminta pertolongan Edi kalau aku udah engga betah dengan wanita
ini. ketika aku sedang mengetik sms ke Edi
tiba-tiba....
“Aduuuuhh....”.
Chantika
kesakitan
sambil memegang kepala kanannya, lalu aku langsung berlari
mendekatinya, dan merangkulnya membantunya berdiri.
“Kamu
kenapa?” Tanyaku panik.
“Kepala
aku pusing yaang”.
“Yaudah
kita kerumah sakit yah?” Aku merangkulnya
membantunya jalan.
“Ngga mau ah, anter ke rumah aja”. Jawabnya dan tak
lama aku mengantarnya ke rumahnya. Setelah di rumahnya iapun istirahat dan aku
langsung cau ke bandara bersama Edi untuk menuju ke Bali, karena keterlambatan
kami tiba di bandara kami terbang ke Bandung terlebih dahulu baru ke Bali.
☼☼☼
Setelah beberapa jam kami tiba di Bali kami mencari
informasi dimana si wanita istimewaku itu bertempat tinggal sementara. Dengan kecerdasanku
yang tinggi akhirnya aku menemukan penginapannya, dan kamipun langsung menuju
tempat tersebut, Nusa Dua.
“Hei, itu dia.” Bisik Edi padaku saat kami sedang
memesan kamar di resepsionis. Kemudian aku melihat arah yang dimaksud oleh Edi,
dan aku memberikan senyuman penuh maksud ke Edi.
“Vanes.!” Teriak Edi pada wanita itu setelah dia
mengerti maksud senyumanku, dan aku pura-pura berbicara pada resepsionis. Tak
lama setelah Edi memanggil Vanes, Vanespun menghampiri kami.
“Loh kok kalian ada di sini juga?” Tanyanya.
“Hai Nes..” Sapaku “Biasa kami mah kalau habis UAS
jalan-jalan keliling Indonesia”. Lanjutku bohong.
“Wah serius? Asik dong!” Vanes percaya saja dengan
kata-kataku. “Dari kapan kalian disini?”
“Baru banget, si Ray dari tadi bukannya pesan kamar
malah godain mbaknya”. Ledek Edi dan aku menyikut pelan tangannya. “Kamar lo
dimana Nes?” Tanya Edi tanpa basa-basi.
“105”. Jawabnya.
“Vanes buruu…” Teriak wanita lain dari kejauhan.
“Eh sorry yah gw di tunggu sepupu gw itu, duluan yah.
Bye”. Pamitnya dan meninggalkan kami.
Setelah Vanes meninggalkan kami, kamipun meminta kamar
yang berdekatan dengannya, dan syukur saja kami mendapatkan kamar 106 yang
berada tepat di depannya. Setelah kami menyimpan koper kami, kamipun pergi
meninggalkan hotel, tujuannya tak lain adalah mencari Vanes. Firasaatku mengatakan
bahwa ia pergi ke Tanjung Benoa.
Sesampainya di Tanjung Benoa aku langsung mencari wanita istimewaku itu. Dan aku
melihatnya sedang berdiri di pinggir pantai sendirian. Aku dan Edipun
menghampirinya.
“Kok sendirian? Mana sepupumu?” Tanya Edi ketika Vanes
mengetahui keberadaan kami di sampingnya.
“Itu lagi main jetski”. Jawabnya menunjuk wanita
berpakaian ungu yang sedang mengendarai motor jetski dengan salah satu
instrukturnya.
“Lo ngga ikutan main?” Tanyaku.
“Ngga ah takut”.
“Kan sama instrukturnya”.
“Gw ngga kenal instrukturnya, ngga percaya aja”.
“Kalau sama Ray kenalkan? Percaya dong kalau Ray yang
bawa? Dia jago loh kalau main di air udah kaya ikan”. Puji Edi berlebihan, dan
aku hanya senyum-senyum saja tahu maksud Edi kearah mana.
Dengan sedikit paksaan Edi akhirnya Vanes mau bermain
jetski denganku. Kami berempatpun bermain di pantai hingga matahari terbenam,
setelah itu kami makan malam di restaurant dekat hotel.
Selama hampir dua minggu aku dekat dengan Vanes dan
selalu mengikutinya kemanapun ia pergi, entah dia menyadarinya atau engga bahwa
aku datang dari Jakarta ke Bali hanya untuk mendekatinya. Dia pernah bertanya
padaku ‘Kenapa kita selalu bertemu secara kebetulan selama di Bali? Apakah kamu
mengikutinku?’ dan aku hanya menjawab ‘Entahlah aku hanya mengikuti arah angin bertiup,
mungkin jodoh’, dan dia percaya-percaya saja.
Setelah kembali dari Bali kedekatan kamipun berlanjut,
Vanes benar-benar orang yang menyenangkan, dan aku benar-benar nyaman ngobrol
banyak hal dengannya, dia sangat bertolak belakang dengan Chantika. Dan aku benar-benar
jatuh cinta padanya. Akupun berbohong pada Vanes bahwa aku sudah putus dengan
Chantika.
Ngomong-ngomong soal Chantika yang tidak menggangguku
lagi selama liburan panjang ini karena aku mengnonaktifkan semua jejaring
sosialku dan nomorku, aku menggunakan nomor yang baru untuk berkomunikasi
dengan Vanes. Akupun tinggal sementara di rumah sepupuku di Solo. Aku yakin si
manja Chantika itu kesal mencariku yang hilang entah kemana selama liburan panjang
ini, dan aku tidak peduli.
☼☼☼
Setelah libur panjang berakhir perkuliahanpun kembali
aktif seperti biasa. Aku datang ke kampus dengan semangat 45, bukan karena
semangat untuk perkuliahan semester baru, tapi untuk bertemu dengan kekasihku,
Vanes.
“Ray!”. Teriak seorang wanita dari kejauhan ketika aku
turun dari mobil.
“Ya! Kenapa Vi?” Tanyaku pada Vivi, wanita yang tadi
berteriak padaku, dan ia berlari kecil ke arahku.
“Lo kemana aja sih selama liburan? Nomor lo juga ngga
aktif!”. Tanya Vivi dengan nada yang terdengar sedikit marah.
“Menikmati liburan panjang dong. Kenapa sih lo kok
pagi-pagi udah marah-marang ngga jelas?”
“Lo ngga tahu kan Tika koma udah hampir dua bulan ini?
“Ah lo kalau bercanda jangan keterlaluan napa?”
“Gw ngga bercanda kali”. Setelah mendapatkan kabar
buruk dari Vivi soal Chantika aku langsung menuju rumah sakit tempat Chantika
di rawat, entah mengapa aku merasa bersalah dengannya. Aku engga tahu jika ia
koma hampir selama dua bulan ini, pantas saja liburanku selama ini terasa damai
dan tentram.
☼☼☼
Ku lihat undangan siang ini semakin ramai memenuhi
ruangan aula hotel. Hampir keseluruhan dari para undangan aku mengenalnya, tapi
sejak pagi aku tidak melihat wanita itu. Sebenarnya aku takut jika wanita itu
hadir disini dan aku berharap ia engga datang, walau sebenarnya setengah hatiku
ingin sekali melihatnya.
Aku menyalami satu persatu undangan dengan senyuman
yang ku paksakan dan dengan terpaksa pula mengucapkan ‘terimakasih’ pada para
undangan yang menyelamatiku. Dengan rasa sesak di dada aku melihat wanita itu
berada di barisan para undangan yang sedang berjalan perlahan mendekatiku. Tidak
perlu waktu lama ia sudah berada di hadapanku.
“Maaf”. Ucapku padanya tanpa suara, dan tanpa kusadari
air mataku menetesi pipiku. Dan ia hanya tersenyum padaku, aku engga mengerti
apa maksud dari senyumannya itu.
“Selamat yah Tika, akhirnya jadi nyonya Ray”. Ucap Vanes
pada Chantika setelah tersenyum dan menyalamiku.
Sungguh ini sangat membuatku sakit. Setelah aku
menjenguk Chantika di rumah sakit aku tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Vanes,
ternyata rasa bersalahku pada Chantika lebih besar dibanding dengan rasa
cintaku pada Vanes. aku sangat merasa bersalah sudah membuat Chantika koma hampir
dua bulan karena mencariku yang menghilang dan membuat kanker otaknya semakin
parah. Setelah Chantika sadar dari komanya ia memintaku untuk meminangnya, ia
bilang engga mau menginggal dalam keadaan belum meningkah. Dan dengan sangat
terpaksa akupun menyanggupi permintaannya karena rasa bersalahku padanya.
END
