expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen



MAAF

Dia memang tidak terlalu cantik di lihat dari mataku, tapi dia istimewa di hatiku. Entah apa yang membuatnya begitu istimewa di hatiku, dan entah sejak kapan aku melihatnya begitu istimewa. Dia unik, ceria, tidak pernah aku melihatnya sedih, kalau melihatnya bingung aku sering, dan itu membuat wajahnya jadi begitu lucu. Aku hanya bisa memandangi wajahnya dari jarak lebih dari satu meter, seperti yang sedang ku lakukan sekarang. Aku selalu penasaran apa yang sedang dia bicarakan dengan temannya itu, sehingga dia sangat bersemangat untuk bercerita pada temannya. Aku senang melihat garis senyuman di wajahnya yang tidak pernah hilang.
Aku langsung mengalihkan pandanganku dan menahan senyum ketika wanita itu tiba-tiba melihat ke arahku. Tidak lama kemudian aku mulai memperhatikannya lagi. Begitu manis tawa yang ada di wajahnya.
“Hayoo... lagi merhatiin siapa tuh Ray?”.
“Agh, engga merhatiin siapa-siapa kok”. Asem kenapa sih setiap aku sedang memperhatikan gerak tubuh gadis itu dengan semangat si muka krikil Edi meenggangguku?
Gw tahu siapa yang lagi kamu perhatiin”. Ledek Edi setelah berhasil mengagetkanku dan duduk dengan santainya di sebelahku.
“Udah deh jangan berisik kenapa?”. Aku mulai kesal setiap Edi berhasil menebak pikiranku. Jelas dia tahu siapa yang lagi aku perhatiin dari tadi. Edi sudah lama jadi sahabatku. Dan dia tahu semua tentang hatiku ke gadis itu. Dan hanya dia yang tahu.
Aku hanya bisa memperhatikannya saat kami berada di dalam kelas, itupun tidak setiap saat. Aku harus mengalihkan perhatianku darinya ketika dosen sudah ada di depan kelas. Dan setelah kelas usai kami berpisah tanpa kata.

☼☼☼

“Hi, sayang”. Sapa Chantika dan mengecup pipi kananku.
“Hi”. Balasku singkat. Dia memang kekasihku, tapi sungguh aku tidak benar-benar mencintainya, hanya saja ada hal kecil yang ‘memaksa’ ku untuk menjadi kekasihnya. Dan itu membuatku jadi tidak nyaman.
“Boleh aku duduk disini?”. Dia melontarkan pertanyaan bodoh.
“Duduk saja, itukan bukan milikku, jadi siapapun boleh duduk di situ”. Dan dia duduk di depanku.
“Kamu kenapa sih? Kok jutek gitu?”. Tanyanya kesal.
“Kau tidak lihat aku sedang mengetik tugas di laptopku, jadi aku harap kau ke sini bukan untuk meenggangguku”. Jawabku tetap fokus pada layar laptop yang ada di hadapanku. Aku tidak benar-benar fokus pada tugasku, tapi aku fokus pada bayangan yang muncul di layar laptopku. Aku melihat wanita istimewa itu sedang makan siang di bangku tidak jauh di belakangku.
“Kamu ngerjain tugas apa sih? Kok senyum-senyum gitu? Emang di tugasnya ada yang lucu?”. Tanya Chantika penasaran dan menggeser kursinya ke sampingku. “Apa yang kau kerjakan Ray?”.
Dengan cepat aku menutup layar laptopku, karena di layar laptopku terdapat huruf-huruf yang tersusun tidak beraturan. Kalau saja Chantika tahu aku tidak fokus dengan tugasku, itu akan membuat urusan menjadi panjang. “Aku udah sering bilangkan ke kamu, aku engga suka di ganggu kalau lagi buat tugas, itu akan memperlambat aku menyelesaikan tugasku”. Kataku kesal.
“Tapikan aku cuma pengin tahu tugas apa yang kau buat, masa engga boleh?”
Engga!”
“Baiklah aku akan meninggalkanmu dengan tugasmu itu. Bye Ray”. Ia meninggalkanku setelah mengecup pipi kiriku.
“Terima kasih”. Setelah Chantika meninggalkanku, aku kembali membuka laptopku dan mencari bayangan wanita itu kembali. Saat aku tidak menemukan bayangan itu lagi, aku membalikkan tubuhku untuk mencarinya dengan mataku.
“Dia udah keluar dari kantin. Tuh”. Edi berhasil membuatku kembali terkejut dan menunjukkan pintu kantin dimana wanita itu keluar setelah dia duduk di kursi sebelahku. Sial gara-gara Chantika aku jadi tidak bisa melihat wanita itu lebih lama.
“Sampai kapan yah Tika engga tahu dengan kebiasaan lo yang suka memperhatikan Vanes?”. Tanya Edi yang tiba-tiba. Benar kata Edi, sudah satu tahun aku memperhatikan wanita itu dan Chantika engga pernah tahu.
gw harap dia engga pernah tahu soal ini”. Jawabku membayangkan apa yang akan terjadi jika Chantika tahu hal ini. Tapi aku harap itu hal baik jika memang Chantika harus tahu.

☼☼☼

Sudah satu minggu ini wanita itu berpenampilan sangat feminin, itu membuatnya terlihat sangat cantik di mataku. Di tambah keceriaan yang ada di wajahnya yang tidak pernah pudar, membuat hatiku bahagia walau hanya bisa melihatnya dari pojokkan kelas.
“Sayaaangg......”. Tiba-tiba Chantika muncul dan berlari kearahku sehingga membuyarkan semua lamunanku.
“Ngapain kamu masuk ke kelasku?”. Tanyaku bingung dengan kehadirannya yang tiba-tiba ini.
“Aku ngambil kelas atas, jadi selama satu semester aku sekelas sama kamu, dan aku bisa seharian ketemu sama kamu selama kuliah. Aku duduk di sini yah, aku engga mau jauh-jauh dari kamu”. Jelasnya dengan gaya yang sok imut, dan duduk di sampingku.
“WHAT?”. Kataku terkejut dan berhasil membuat semua anak dalam kelas melihat kearah kami dengan wajah kaget. “Sorry-sorry”, kataku keseluruh anak yang melihat ke arahku.
“Iya, aku sekelas sama kamu untuk mata kuliah ini. Kamu pasti senang yah? Terkejutnya sampe buat semua anak kelas ngeliat ke arah kita gitu”.
Sungguh aku memang terkejut dan tidak senang pastinya. Di luar kelas saja sudah membuatku sangat kesal dengan sikapnya, bagaimana kalau selama satu semester dia ada dikelas? Oh Tuhaan. Itu bencanan besar untukku selama semester ini.

☼☼☼

Sudah dua bulan lebih sejak Chantika masuk ke kelasku. Tiap mata kuliah yang sekelas dengannya, dia selalu membuatku risih. Tiap masuk kelas selalu bersama denganku, tiap ada materi yang dia tidak mengerti selalu tanya padaku. Kenapa dia tidak tanya ke dosen? Menyebalkan! Yang lebih bikin aku kesal, dia selalu bermanja-manja denganku di depan Vanes! Tapi wajah Vanes biasa saja, sepertinya dia ngga punya perasaan yang sama denganku.
“Ayang.! Kamu dengar engga sih aku ngomong apa?”. Tanya Chantika ketika aku sedang memperhatikan Vanes yang berpakaian serba biru duduk tidak jauh di depanku.
“Kenapa sayang?”. Jawabku berpura-pura romantis, aku ingin tahu respon Vanes jika aku romantis pada Chantika.
“Kamu dari tadi engga dengerin aku yah? Kamu mikirin apa sih?”.
“Aku engga mikirin apa-apa kok, aku Cuma lagi mikirin kamu sayang”. Jawabku mengelus rambut Chantika dengan lembut, tapi pandangan mataku ke arah Vanes untuk melihat reaksi dia. Tapi aku tidak melihat respon yang aku harapkan. Ketika aku memperhatikannya tiba-tiba ia melihat ke arahku dan tersenyum, aku tidak membalas senyumannya itu. Kenapa dia tersenyum padaku ketika aku sedang memperlakukan Chantika dengan romantis, tapi tiap aku bersikap cuek pada Chantika dia tidak pernah melihat ke arahku.
“Ih.. kamu romantis deh, akukan di samping kamu tapi kamu mikirin aku”. Chantika mengelus-ngelus kedua pipiku. Aku tersenyum pahit. Rasanya aku ingin muntah dengan kata-kata yang aku ucapkan sebelumnya ke dia.

Ketika aku melihat Vanes keluar kelas, engga lama kemudian aku meminta izin dosen yang berada di kelas untuk keluar sebentar. Setelah aku mencuci tangan untuk meyakinkan bahwa aku habis dari toilet, aku menunggu Vanes keluar dari toilet wanita. Dan ketika aku melihat Vanes keluar dari toilet, Vanes mendatangi temannya yang duduk di bangku di depan pintu kelas, dan tanpa sengaja aku mendengar percakapan mereka. Ku dengar dia mau liburan ke Bali setelas UAS, ini kesempatan bagus buat deketin dia. UAS itu minggu depan dan aku harus merencanakan sesuatu untuk menjauhkan Chantika dariku untuk sementara aku pergi ke Bali untuk mendekati Vanes.
Vanes berbincang sedikit lama dengan temannya, dan aku langsung kembali ke kelas setelah mendengar sedikit perbincangan mereka dengan menutupi rasa senangku, agar Chantika tidak curiga.

☼☼☼

            Hari ini hari terakhir UAS, yaah aku sangat bahagia, setelah menanti dua minggu untuk hari ini, akhirnya tiba juga. Dengan semangat aku melangkahkan kaki meninggalkan kelas untuk pulang ke rumah dan menuju bandara.
            “Sayaaaaang.... kamu udah keluar?” Baru beberapa langkah keluar pintu kelas Chantika tiba-tiba muncul dari belakangku dan langsung merangkul tangan kiriku. “Cepet banget, pasti pengin cepet-cepet ketemu aku yah?”. Sial, sang peengganggu muncul lagi. Gerutuku dalam hati.
            “Lah emang mau berapa lama aku ngerjain soal yang jumlahnya cuma lima essay?” jawabku sedikit jutek.
            “Oh.. soalnya cuma lima? Emang yah pacar aku ini pinter, ngerjain lima soal dalam waktu lima belas menit”.
            Hah? 15 menit? Lalu aku melihat jam tanganku, bener juga aku cuma ngerjain soal-soal itu dalam waktu 15 menit. Ternyata semangatku untuk ke Bali bertemu Vanes membuat otakku mudah mengerjakan soal-soal tadi.
             “Loh kok kamu ada disini? Bukannya kamu udah beres ujian dari kemarin yah?” Tanyaku yang baru tersadar bahwa Chantika seharusnya engga seharusnya di sini.
            “Iya, aku mau refreshin otak aku nih pusing gara-gara ujian kemarin, jadi aku mau shopping trus kesalon sama kamu. Kamu maukan nemenin aku?”
            “Loh kok mendadak? Biasanya kamu sms dulu trus minta di jemput?” Mampus, akukan harus kebandara dua jam lagi, mana cukup kalau nemenin dia shopping sama kesalon?
            “Tadi aku ada perlu sama dosen Rara, jadi yah sekalian aja aku nungguin kamu di depan kelas kamu.”
            Aku harus mempercepat dia shopping hari ini. Yaudah yuk”. Kamipun berjalan ketempat parkir untuk mengambil mobilku, dan dengan kecepatan tinggi kami menuju tempat mall biasa Chantika belanja.
Dia engga pernah protes setiap aku membawa mobil dengan kecepatan tinggi, meski tiap aku jalan dengannya aku selalu mempercepat waktuku agar engga berlama-lama dengannya. Hanya dengan alasan ‘cita-citakukan pengin jadi pembalap jadi harus terbiasa’ dan dia mengerti. Tapi dia selalu memperlambat waktuku untuk mencari-cari pakaian yang sebernarnya engga ingin dia beli. Sudah satu jam kami mutar-mutar mall ini, tapi satu bajupun belum ada yang dia beli. Sedangkan waktuku menuju bandara hanya tinggal satu jam lagi, belum kalau terjebak macet. Aku langsung menghubungi Edi mencari pertolongan, ini bukan untuk pertama kalinya aku meminta pertolongan Edi kalau aku udah engga betah dengan wanita ini. ketika aku sedang mengetik sms ke Edi tiba-tiba....
“Aduuuuhh....”. Chantika kesakitan sambil memegang kepala kanannya, lalu aku langsung berlari mendekatinya, dan merangkulnya membantunya berdiri.
“Kamu kenapa?” Tanyaku panik.
“Kepala aku pusing yaang”.
“Yaudah kita kerumah sakit yah?” Aku merangkulnya membantunya jalan.
“Ngga mau ah, anter ke rumah aja”. Jawabnya dan tak lama aku mengantarnya ke rumahnya. Setelah di rumahnya iapun istirahat dan aku langsung cau ke bandara bersama Edi untuk menuju ke Bali, karena keterlambatan kami tiba di bandara kami terbang ke Bandung terlebih dahulu baru ke Bali.

☼☼☼

Setelah beberapa jam kami tiba di Bali kami mencari informasi dimana si wanita istimewaku itu bertempat tinggal sementara. Dengan kecerdasanku yang tinggi akhirnya aku menemukan penginapannya, dan kamipun langsung menuju tempat tersebut, Nusa Dua.

“Hei, itu dia.” Bisik Edi padaku saat kami sedang memesan kamar di resepsionis. Kemudian aku melihat arah yang dimaksud oleh Edi, dan aku memberikan senyuman penuh maksud ke Edi.
“Vanes.!” Teriak Edi pada wanita itu setelah dia mengerti maksud senyumanku, dan aku pura-pura berbicara pada resepsionis. Tak lama setelah Edi memanggil Vanes, Vanespun menghampiri kami.
“Loh kok kalian ada di sini juga?” Tanyanya.
“Hai Nes..” Sapaku “Biasa kami mah kalau habis UAS jalan-jalan keliling Indonesia”. Lanjutku bohong.
“Wah serius? Asik dong!” Vanes percaya saja dengan kata-kataku. “Dari kapan kalian disini?”
“Baru banget, si Ray dari tadi bukannya pesan kamar malah godain mbaknya”. Ledek Edi dan aku menyikut pelan tangannya. “Kamar lo dimana Nes?” Tanya Edi tanpa basa-basi.
“105”. Jawabnya.
“Vanes buruu…” Teriak wanita lain dari kejauhan.
“Eh sorry yah gw di tunggu sepupu gw itu, duluan yah. Bye”. Pamitnya dan meninggalkan kami.

Setelah Vanes meninggalkan kami, kamipun meminta kamar yang berdekatan dengannya, dan syukur saja kami mendapatkan kamar 106 yang berada tepat di depannya. Setelah kami menyimpan koper kami, kamipun pergi meninggalkan hotel, tujuannya tak lain adalah mencari Vanes. Firasaatku mengatakan bahwa ia pergi ke Tanjung Benoa.
Sesampainya di Tanjung Benoa aku langsung mencari wanita istimewaku itu. Dan aku melihatnya sedang berdiri di pinggir pantai sendirian. Aku dan Edipun menghampirinya.
“Kok sendirian? Mana sepupumu?” Tanya Edi ketika Vanes mengetahui keberadaan kami di sampingnya.
“Itu lagi main jetski”. Jawabnya menunjuk wanita berpakaian ungu yang sedang mengendarai motor jetski dengan salah satu instrukturnya.
“Lo ngga ikutan main?” Tanyaku.
“Ngga ah takut”.
“Kan sama instrukturnya”.
“Gw ngga kenal instrukturnya, ngga percaya aja”.
“Kalau sama Ray kenalkan? Percaya dong kalau Ray yang bawa? Dia jago loh kalau main di air udah kaya ikan”. Puji Edi berlebihan, dan aku hanya senyum-senyum saja tahu maksud Edi kearah mana.
Dengan sedikit paksaan Edi akhirnya Vanes mau bermain jetski denganku. Kami berempatpun bermain di pantai hingga matahari terbenam, setelah itu kami makan malam di restaurant dekat hotel.

Selama hampir dua minggu aku dekat dengan Vanes dan selalu mengikutinya kemanapun ia pergi, entah dia menyadarinya atau engga bahwa aku datang dari Jakarta ke Bali hanya untuk mendekatinya. Dia pernah bertanya padaku ‘Kenapa kita selalu bertemu secara kebetulan selama di Bali? Apakah kamu mengikutinku?’ dan aku hanya menjawab ‘Entahlah aku hanya mengikuti arah angin bertiup, mungkin jodoh’, dan dia percaya-percaya saja.
Setelah kembali dari Bali kedekatan kamipun berlanjut, Vanes benar-benar orang yang menyenangkan, dan aku benar-benar nyaman ngobrol banyak hal dengannya, dia sangat bertolak belakang dengan Chantika. Dan aku benar-benar jatuh cinta padanya. Akupun berbohong pada Vanes bahwa aku sudah putus dengan Chantika.
Ngomong-ngomong soal Chantika yang tidak menggangguku lagi selama liburan panjang ini karena aku mengnonaktifkan semua jejaring sosialku dan nomorku, aku menggunakan nomor yang baru untuk berkomunikasi dengan Vanes. Akupun tinggal sementara di rumah sepupuku di Solo. Aku yakin si manja Chantika itu kesal mencariku yang hilang entah kemana selama liburan panjang ini, dan aku tidak peduli.

☼☼☼

Setelah libur panjang berakhir perkuliahanpun kembali aktif seperti biasa. Aku datang ke kampus dengan semangat 45, bukan karena semangat untuk perkuliahan semester baru, tapi untuk bertemu dengan kekasihku, Vanes.
“Ray!”. Teriak seorang wanita dari kejauhan ketika aku turun dari mobil.
“Ya! Kenapa Vi?” Tanyaku pada Vivi, wanita yang tadi berteriak padaku, dan ia berlari kecil ke arahku.
“Lo kemana aja sih selama liburan? Nomor lo juga ngga aktif!”. Tanya Vivi dengan nada yang terdengar sedikit marah.
“Menikmati liburan panjang dong. Kenapa sih lo kok pagi-pagi udah marah-marang ngga jelas?”
“Lo ngga tahu kan Tika koma udah hampir dua bulan ini?
“Ah lo kalau bercanda jangan keterlaluan napa?”
“Gw ngga bercanda kali”. Setelah mendapatkan kabar buruk dari Vivi soal Chantika aku langsung menuju rumah sakit tempat Chantika di rawat, entah mengapa aku merasa bersalah dengannya. Aku engga tahu jika ia koma hampir selama dua bulan ini, pantas saja liburanku selama ini terasa damai dan tentram.

☼☼☼

Ku lihat undangan siang ini semakin ramai memenuhi ruangan aula hotel. Hampir keseluruhan dari para undangan aku mengenalnya, tapi sejak pagi aku tidak melihat wanita itu. Sebenarnya aku takut jika wanita itu hadir disini dan aku berharap ia engga datang, walau sebenarnya setengah hatiku ingin sekali melihatnya.
Aku menyalami satu persatu undangan dengan senyuman yang ku paksakan dan dengan terpaksa pula mengucapkan ‘terimakasih’ pada para undangan yang menyelamatiku. Dengan rasa sesak di dada aku melihat wanita itu berada di barisan para undangan yang sedang berjalan perlahan mendekatiku. Tidak perlu waktu lama ia sudah berada di hadapanku.
“Maaf”. Ucapku padanya tanpa suara, dan tanpa kusadari air mataku menetesi pipiku. Dan ia hanya tersenyum padaku, aku engga mengerti apa maksud dari senyumannya itu.
“Selamat yah Tika, akhirnya jadi nyonya Ray”. Ucap Vanes pada Chantika setelah tersenyum dan menyalamiku.
Sungguh ini sangat membuatku sakit. Setelah aku menjenguk Chantika di rumah sakit aku tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Vanes, ternyata rasa bersalahku pada Chantika lebih besar dibanding dengan rasa cintaku pada Vanes. aku sangat merasa bersalah sudah membuat Chantika koma hampir dua bulan karena mencariku yang menghilang dan membuat kanker otaknya semakin parah. Setelah Chantika sadar dari komanya ia memintaku untuk meminangnya, ia bilang engga mau menginggal dalam keadaan belum meningkah. Dan dengan sangat terpaksa akupun menyanggupi permintaannya karena rasa bersalahku padanya.

END

Jumat, 28 November 2014

cerpen- la dolce vita (Part3)



FINE


“AAAAA…..” teriakku senang ketika membaca email masuk.
“Kenapa Bel?” tanya kaget seorang wanita yang tidak aku sadari telah masuk ke ruangan.
“Ah, ngga apa-apa Dok cuma seneng aja. Hehe.” Jawabku kaget ketika melihat Dokter Vita masuk keruangan.
“Hayoo… kenapa? Selingkuhan yah?” Ledek Dokter Vita.
“Haha ngga lah Dok.” Jawabku dengan tangan kanan memukul angin pelan dan masih dengan senyuman bahagia.
“Hmmmm…” Goda Dokter Vita dan aku hanya tersenyum malu.
“Pasien selanjutnya jam berapa Bel?” Lanjut Dokter Vita.
“Bentar Dok.” Aku membuka catatan jadwal pasien Dokter Vita “Jam 13.15 Dok.” Jawabku.
“Hm..” Respon Dokter Vita, lalu ia duduk di kursi meja kerjanya dan membuka map biru tua yang tersimpan di atasnya.
“Dok, saya boleh izin keluar sebentar?” Tanya ku ragu, dan Dokter Vita hanya menganggukkan kepalanya pelan tanpa mengalihkan matanya dari catatan didalam map yang sedang di bacanya. Lalu setelah mendapatkan izin keluar oleh dokter Vita akupun berlari kecil menuju ruangan praktek dokter umum.
“Sus, Dokter Chrisnya lagi ada pasien yah?” Tanyaku pada salah satu wanita berpakaian suster berwarna biru muda yang berada di meja form dekat ruangan dokter umum.
“Iya Bu.” Jawabnya singkat.
“Masih berapa lagi?”
“Tinggal yang didalam aja Bu.”
“Ok, terimakasih sus.” Aku berjalan menuju ruangan dokter yang bertuliskan ‘DOKTER UMUM, dr. Christian’ di dinding dekat pintu masuk ruangan dan aku duduk di kursi tunggu depan ruangan tersebut. Tanpa aku menunggu lama, pasien yang berada di dalam pun keluar dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan ketika melihat aku berdiri dan siap-siap untuk masuk keruangan tersebut. Akupun membalas senyumannya, lalu buru-buru masuk keruangan tersebut tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
“Ya?” Tanya Christian yang berada di dalam ruangan tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer yang ada di depannya.
“Serius amat.” Kataku ketika ia tidak melihat kearahku dan aku duduk di depannya.
“Cici, ada apa?” Tanyanya sedikit kaget setelah melihat kearahku dan sedikit memutar kursinya untuk menghadapku.
“Kamu masih ingat dengan Stefano? Temanku yang berada di Vinezia?”
“Iya. Kenapa?”
“Dia besok akan bertunangan, dan bulan April pernikahannya.” Ceritaku antusias.
“Kamu ingin hadir di pernikahannya?”  Tanya Christian menyelediki. Dan aku menganggukkan kepalaku dengan kencang dan memasang wajah memohon.
“Apa kamu sudah berbicara dengan bunda?”
“Kalau aku datang kesana sendiri akan sulit mendapatkan izinnya.” Jawabku sedih.
“Bagaimana dengan hasil tes beasiswamu?”
Aku menggelengkan kepala pelan dengan wajah sedih “Susah sekali mendapatkan beasiswa master psikologi di sana.” Aku sedikit membungkukkan badan menandadakan kecewa.
“Jangan sedih, di coba lagi, kan kamu baru dua kali mencobanya. Bicaralah dengan bunda jika kamu ingin hadir di pernikahan Stefano, setelah itu aku akan atur dengan jadwalku.” Hibur Chris sambil mengacak rambutku dengan lembut.
Setelah mendapatkan jawabannya akupun keluar dari ruangan praktek Chris dan kembali menuju ruang praktek Dokter Vita.

∞∞

“Hai Bel!” Sapa seorang laki-laki yang baru masuk ruangan.
“Pih!” Jawabku setelah melihat orang yang menyapaku dan aku berdiri menghampirinya serta mencium tangan kanannya “Sabtu-sabtu praktek Pih?”
“Iya, tadi ada operasi, dokter jaganya mendadak ada halangan jadi Papih yang melakukkan operasi. Kata Chris kamu gagal tes beasiswa lagi?” Tanyanya lalu ia merangkulku menuju sofa tempat Chris bersantai.
Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan dan kembali bersedih.
“Kamu ingin sekali melanjutkan kuliah di Italia?” Tanya Papihnya Chris. Dan aku hanya bisa kembali menganggukkan kepalaku pelan.
“Papih yang biayain mau?” Tawarnya dan membuat ku kaget.
“Papih biayain?” Ulangku meyakinkan pendengaranku tidak salah.
“Iya. kamu bilang kan ingin kuliah lagi di Italia, tapi karena kamu di suruh biaya sendiri oleh orang tuamu makanya kamu mencoba beasiswa, tapi katamu sulit, yah Papih permudah. Papih sama Mamih kan sudah anggap kamu seperti anak kami sendiri.” Jelasnya.
                Aku menjadi bingung harus bagaimana, aku senang karena ada yang mau membiayai aku untuk kuliah di Italia Negara impianku dari SMA tapi ia hanya orang tua dari kekasihku. Aku dan Chris sudah berpacaran tiga tahun, dan aku memang dekat dengan orang tua Chris, karena Chris anak tunggal jadi orang tuanya senang sekali ketika Chris mengajak kekasihnya untuk main kerumahnya. Jadi ya wajar jika aku sudah di anggap seperti anak mereka sendiri.
“Bagaimana Bel?” Tanyanya kembali ketika aku lama berdiam. “Kamu ngga perlu ngerasa ngga enak. Anak Papihkan hanya Chris, dia pun sudah mendapatkan beasiswa hingga profesi di sini, jadi Papih ingin merasakan membiayai kuliah anak sendiri. Papih hanya akan membiayaimu kuliah dan asrama saja jika kamu masih ngerasa ngga enak.”
“Aku pikirkan dulu yah Pih.” Jawabku masih menimbang-nimbang tawaran Papihnya Chris.
“Baiklah jika kamu masih ingin memikirkannya terlebih dulu.” Lalu Papihnya Chris pergi kekamarnya dan tak lama iapun kembali dengan membawa beberapa lembar kertas “Ini di baca-baca dulu sambil kamu pertimbangkan.” Tawarnya sambil memberikan kertas yang tadi di ambil dari dalam kamarnya, lalu iapun kembali kekamarnya.
Aku dan Chris membaca kertas yang di berikan Papih Chris, yang ternyata itu print-an brosur salah satu universitas di Italia dengan penjelasannya fakultasnya.

Peringkat Dunia : 91
Lokasi : Roma, Italia
Sapienza University of Rome didirikan kembali pada tahun 1303, menjadikan sebagai salah satu universitas tertua di Eropa. Sekarang universitas ini telah berkembang pesat, dengan 125.000 mahasiswa, 59 perpustakaan, dan 21 museum.
Fakultas :
Arsitektur,
Teknik Industri & Sipil,
Ekonomi,
Teknik Informasi, Informatika & Statistik,
Hukum,
Matematika, Fisika, Dan Pengetahuan Alam,
Ilmu Kedokteran & Kedokteran Gigi,
Ilmu Kedokteran & Psikologi,
Farmasi & Ilmu Kedokteran,
Seni & Sastra,
Ilmu Pengetahuan Politik, Sosiologi, & Ilmu Pengetahuan Komunikasi.

∞∞

Setelah beberapa hari aku memikirkan tawaran Papihnya Chris aku memutuskan untuk menerima tawarannya untuk di biayai kuliah di Italia. Aku merasa sia-sia kursus bahasa Italia 7 bulan dengan biaya dua juta di Italian Instituto of Culture di Jakarta tapi aku tidak jadi kuliah di Italia. Aku mulai tes melalui online di awal bulan februari dan dua minggu setelah tes hasilnya keluar. Tes untuk kuliah regular tidak sesulit tes untuk beasiswa, dan aku akhirnya di terima di Universitas Sapienza di Roma dengan jurusan Ilmu Kedokteran dan Psikologi, karena aku lulusan sarjana psikologi dan aku sudah hampir satu tahun bekerja sebagai asisten psikiater di salah satu rumah sakit swasta ternama di Jakarta, jadi aku mengambil jurusan yang ada hubungannya dengan pengalamanku.
Tentang orang tuaku mereka tidak tahu hal ini, aku mengatakan bahwa aku mendapatkan beasiswa yang aku ajukan dan semua hidupku di sana sudah di tanggung oleh beasiswaku (aku benar-benar mendapatkan beasiswa, dari Papihnya Chris tapinya). Aku tidak mengatakan bahwa ini dapat dari Papihnya Chris karena pastinya tidak akan di bolehkan untuk menerima tawaran ini. Aku menerima tawaran Papihnya Chris karena aku menganggap ini adalah sebuah kesempatan besar untuk mewujudkan mimpiku yang belum tentu akan datang dua kali.
Aku berangkat ke Italia awal bulan maret, satu minggu sebelum perkuliahanku di mulai. Aku di antar oleh orang tuaku dan Chris ke Bandara Soekarno Hatta. Aku dan Chris menyusun rencana agar orang tua Chris tidak ikut untuk mengantarku ke bandara, karena aku dan Chris tidak ingin orang tua kami bertemu.

Sesampainya aku di Bandara Fiumicino, Roma, aku di jemput oleh Stefano sahabat Italiaku dengan Ferrari hitam yang sudah tak asing untukku. Saat ini Roma sedang memasuki musim semi dengan suhu antara 160-170C, beda sekali dengan keadaan pertama kali aku berkunjung kesini saat Desember dua tahun lalu yang bersuhu hingga -30C.
Aku menikmati perjalananku menuju Vinezia, tempat kediaman Stefano. Kami banyak bercerita tentang kehidupan kami satu tahun belakangan ini, namun Stefano yang lebih banyak bercerita tentang ia dan Luria yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Katanya pacaran itu tidak perlu lama-lama, ketika dua orang saling jatuh cinta dan saling mengenal untuk apa berlama-lama dalam status hubungan yang tidak terikat dengan perjanjian Tuhan karena bisa saja salah satu atau keduanya akan berkhianat saat tidak berjanji atas nama Tuhan. Aku sungguh menggumi dirinya, dia berbeda dengan laki-laki Eropa lainnya.
Hingga sampai di Vinezia aku sedikit kaget dengan suasana disini, suasananya benar-benar berbeda dengan Januari tahun lalu saat aku berkunjung kesini. Stefano bercerita ketika Vinezia memasuki musim semi dan panas akan sangat ramai dengan para turis, dan sangat berbeda saat Vinezia memasuki musim dingin. Stafano pun bercerita, Vinezia sering terjadi il period dell’acqua alta atau periode naiknya level air, ini seperti banjir kecil yang di sebabkan oleh scirocco, angin yang berasal dari padang pasir, dari daerah arab, afrika. Dengan angin level air akan menjadi meningkat, sehingga air laut sampai ke area kota air, Vinezia. Ini akan sangat mengganggu ketika kamu ingin berjalan menyusuri kota ini, tapi jika kamu menggunakan sepatu boot itu tidak akan menjadi masalah. Aku sedikit tertawa lucu mendengarnya, ternyata selain Jakarta yang sering dapat banjir kiriman dari Bogor, Vineziapun dapat dari Negara tetangga.
Saat sampai di rumah Stefano aku kembali di sambut hangat oleh Signora dan Signor Andrea orang tua Stefano, serta Luria tunangan Stefano. Petrecca adik Stefanopun ikut meramaikan sambutan kedatanganku, ia langsung menagih titipan oleh-oleh yang beberapa hari lalu di mintanya. Karena aku dari jawa jadi aku membawakan beberapa baju dan kain batik dari beberapa daerah di Jawa Tengah, mereka sangat menyukai motif-motif batik yang aku berikan. Orang luar emang lebih menghargai kerajinan dan hasil karya Indonesia di bandingkan dengan pribumi. ckck
Satu minggu sebelum di mulainya perkuliahanku, aku tinggal di rumah Stefano dan membantunya untuk persiapan pernikahannya dengan Luria. Setelahnya Petrecca membantuku untuk melaporkan daftar diriku sebagai mahasiswa dari Indonesia ke kantor polisi, mencari pekerjaan part time, serta mengantarku ke Kedutaan Besar Indonesia di Roma. Setelah itu kami ke asrama kampus baruku, Petrecca juga mahasiswi tahun kedua di Sapienza, dia mengambil jurusan Arsitektur. Karena Vinezia jauh dari Roma maka Petreccapun tinggal di asrama, namun karena kami beda tingkatan, dia sarjana dan aku master gedung asrama kamipun berbeda.

∞∞

Sepulang dari acara pernikahan Stefano aku langsung kembali ke asrama. Dua minggu pertama di asrama aku tidak mengenal siapa teman sekamarku, kami masih sibuk dengan urusan kami masing-masing. Bahkan aku tidak menyadari bahwa teman sekamarku ternyata seorang Muslim, aku bisa melihatnya dari pakaian yang ia kenakan, ia memakai jilbab panjang yang hampir menutupi seluruh tubuhnya kecuali pergelangan tangan dan wajahnya.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku setelah mengetuk kamar yang sedikit terbuka.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab wanita berjilbab ungu muda yang sedang membaca buku di atas tempat tidurnya. Kemudian aku masuk berjalan mendekatinya.
“We have not had time to get acquainted. My name is Bella, twenty-four years, from Indonesia. Are you?” Kataku memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan kananku untuk berjabat tangan dengannya.
“I’m Liyana Zahirah, twenty-six years, from Sisilia.” Jawabnya dan menerima jabatan tanganku.
“Liyana Zahirah? Bel nome.//Nama yang indah.” Pujiku, lalu aku duduk di atas tempat tidurku yang bersebrangan dengan tempat tidurnya, dan melepaskan ransel yang aku gendong di punggung serta mengeluarkan barang-barang dari dalamnya.
“Grazie, è lei il musulmano?//Terimakasih, apakah kamu Muslim?” Tanyanya sedikit ragu dan menutup buku yang telah dibacanya.
“Sì, io musulmano. Perchè?//Iya, aku Muslim kenapa?” Jawabku sedikit bingung dan menghentikan kegiatanku.
“Tidak apa-apa. Tadi saat kamu masuk kemari kamu mengucapkan salam, dan kamu berasal dari Indonesia, Negara Muslim tebesar di dunia.” Jawabnya dengan bahasa Italia yang sangat fasih. Dan aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya tentang Indonesia sebagai Negara Muslim terbesar di dunia, lalu aku melanjutkan merapihkan barang bawaanku.
“Tapi kenapa kamu tidak menutupi auratmu?” Lanjut Zahirah dan membuatku sedikit kaget.
“aaah, di Indonesia tidak semua Muslim menggunakan jilbab.” Jawabku enteng.
“Tapi bukankah kitab suci Muslim di Indonesia dengan dunia sama, yaitu Al-Quran?”
“Tentu.” Jawabku sedikit bingung, dan masih merapihkan barang-barangku.
“Lalu kenapa tidak semua Muslim di Indonesia mengenakan jilbab? Bukankah di dalam Al-Quran banyak surat yang menjelaskan tentang kewajiban seorang wanita untuk menutupi auratnya? Lalu kenapa wanita di Indonesia tidak mengikuti aturan yang di buat Allah?” Tanya Zahirah yang penasaran. Pertanyaan Zahirah membuatku kaget dan menghentikan kegiatanku
“hmmm…” Jawabku. Pertanyaan-pertanyaanya benar-benar membuat aku bingung dan aku tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya bisa memasang wajah bingung dengan menggigit bibir kanan bawahku serta menggaruk leher belakang yang tidak gatal dengan tangan kiriku.
“Kenapa?” Tanyanya dan menunggu jawabanku.
“Aku tidak tahu soal itu. Mungkin Muslim di Indonesia tidak semuanya membaca Al-Quran.” Jawabku mengira-ngira.
“Tapikan semua Muslim wajib membaca Al-Quran? Kenapa mereka tidak membaca Al-Quran?”
“Aku tidak tahu kenapa mereka seperti itu.” Jawabku sedikit jengkel.
“Lalu bagaimana dengamu?”
“Aku?”
“Iya. Apa kamu juga tidak membaca Al-Quran?”
“Aku membacanya.” Jawabku mengingat-ingat kapan terakhir aku membaca Al-Qur’an.
“Tapi kenapa kamu tidak mengenakan jilbab?”
Aku hanya memasang wajah bingung dan mengangkat kedua bahuku sebagai tanda tidak tahu, lalu dia berhenti bertanya ketika dia melihat aku kebingungan. Pertanyaan-pertanyaan Zahirah benar-benar membuatku bingung untuk dijawab dan aku sedikit malu dengannya. Dia tinggal di Italia, dimana orang Muslim masih sebagai minoritas, tapi dia terlihat Islami, sedangkan aku lahir di Negara yang katanya sebagai Negara Muslim terbesar di dunia hanya mengenakan celana jins dan kaos tidak berlengan.
“Apakah kau mualaf?” Tanyaku tiba-tiba.
“Tidak, kedua orang tuaku Muslim, ayah asli keturunan Sisilia dan ibu keturunan Siena. Kalau ibuku memang mualaf sebelum menikah dengan ayah. Kenapa?”
“Apa semua keturunan asli Sisilia adalah Muslim?” Tanyaku yang penasaran.
Lalu ia bercerita tentang sejarah Islam di Italia yang bermula pada abad ke-9, ketika Sisilia dan beberapa wilayah di Semenanjung Italia menjadi bagian kekuasaan Ummah Muslim antara tahun 828 (Penakluk Muslim Sisilia) dan pada tahun 1300 (kehancuran benteng pertahanan Islam terakhir di Lucera, Puglia), Islam hampir tidak ada lagi di Italia sejak zaman penggabungan negara pada tahun 1861 hingga tahun 1970-an, saat gelombang pertama imigran dari Afrika Utara mulai tiba. Bangsa tersebut, umumnya berasal dari bangsa Berber dan Arab, yang kebanyakan datang dari Maroko. Sebagian juga datang dari Albania, dan beberapa tahun kemudian, mereka juga diikuti oleh orang-orang Mesir, Tunisia, Senegal, Somalia, Pakistan dan lain-lain.
Dan kini terdapat kurang lebih 1,5 juta jiwa berkebangsaan Italia yang beragama Islam. Mereka merupakan orang asing yang menjadi warga negara Italia dan penduduk asli Italia yang memeluk Islam. Islam tidak secara formal diperkenalkan oleh Negara Italia di samping menjadi kepercayaan terbesar kedua setelah Katolik. Kepercayaan lain termasuk Yahudi dan grup yang lebih kecil seperti Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah dan Gereja Advent Hari Ketujuh, telah disetujui oleh pemerintah Italia. Pengenalan resmi telah memberikan kepercayaan tersebut sebuah kesempatan menguntungkan dari ‘pajak agama’ nasional yang dikenal sebagai delapan per-seribu.
Zahirah juga bercerita tentang keluarganya yang mengajarkan Islam mulai dari sejarah kedatangan Islam di Sisilia hingga keseluruh Italia, belajar bahasa arab untuk memahami isi kandungan dari Al-Qur’an dan banyak hadist-hadist yang telah di ajarkan oleh orang tua Zahirah kepada anak-anaknya. Jadi aku tidak heran jika Zahirah dengan lancar menceritakan sejarah perkembangan Islam di Kotanya dan memahami isi kandungan Al-Quran.
Aku tidak tahu jika ternyata Islam telah menjadi agama kedua di Italia setelah Katolik. Subhanallah. Tapi kenapa Negara Italia tidak memperkenalkannya secara formal, tidak seperti agama lain?
“Tu perchè?//Kamu kenapa?” Tanya Zahirah membuyarkan lamunanku.
“No, va bene.//Tidak, tidak apa-apa.” Jawabku, ternyata tanpa aku sadari aku meneteskan air mata ketika mendengarkan Zahirah bercerita tentang Islam di Italia. Entah sudah berapa lama aku tidak mendengarkan sejarah Islam, selama ini yang orang tuaku ajarkan hanya rukun Islam dan rukun iman, kedua orang tuaku pun tidak pernah memaksakanku untuk berjilbab, walau bundaku sendiri berjilbab. Baru beberapa jam aku mengenal Zahirah aku sangat merasa malu sebagai sesama Muslim tapi berbeda dengan Zahirah, mulai dari cara berpakaian dan pemahaman tentang Islam.

∞∞

Setelah lima bulan lebih aku mengenal Zahirah, aku banyak belajar tentang Islam. Dia benar-benar orang yang sangat Islami, bahkan hingga makananpun tidak lupa dia perhatikan. Dia tidak pernah mau makan masakan di kantin kampus maupun asrama, padahal kami yang tinggal di asrama sudah mendapatkan makan pagi dan malam. Dia bilang takut makanan yang di masak tidak halal, aku kira makanan tidak halal itu hanya dagingnya saja, tapi alat masak dan alat makan yang telah terkena daging tidak halal itupun menjadi tidak halal makanannya untuk kami makan. Aku jadi ingat bahwa aku sering makan di rumah Chris yang tidak tahu apakah keluarganya pernah masak makanan yang tidak boleh aku makan. Dan saat natal di Aventino aku jelas-jelas melihat daging babi di hidangkan, aku tidak memakan daging itu, tapi makan masakan yang lainnya.
Zahirahpun tak jarang mengajakku sholat di Masjid Roma atau yang sering di sebut Grande Moschea saat weekend, masjid megah yang menarik dan unik ini didesain arsitek Italia Paulo Porthogesi, masjid ini dapat menampung sekitar 40.000 jamaah. Lokasinya berdekatan dengan Kota Vatikan dan Sinagog Yahudi. Dari lembah Tiber, masjid itu tampak menjulang tinggi menyaingi Montenne, sebuah bukit yang sangat subur di utara kota Roma. Bagi penduduk Roma yang mayoritasnya penganut Katolik Roma, mereka juga bangga dengan adanya sebuah bangunan yang didominasi warna kuning muda dengan becak lumut di catnya itu. Bangunan pusat kegiatan umat Islam itu, mereka nilai, memiliki keistimewaan di banding dengan berbagai bangunan megah lainnya yang ada di kota itu. Di antara keistimewaannya, 16 kubah ditambah sebuah kubah besar di tengah yang atasnya dihiasi dengan bulan sabit, serta sebuah menara berbentuk pohon palem setinggi 40 meter.
Bukan hanya di luarnya saja yang bagus, dalamnyapun sangat mengagumkan dengan gantungan lampu bundar besar di langit-langit dalam masjid serta sajadah panjang berwarna biru polos ini kadang membuat kami betah lama-lama di dalam masjid.

Sepulang sholat Dzuhur di Grande Moschea aku sangat terkejut ketika melihat seorang laki-laki tinggi berwajah Cina berdiri dekat kursi taman pintu masuk asramaku dengan koper di sampingnya. Lalu aku berlari meninggalkan Zahirah di belakang dan menghampiri laki-laki tersebut serta memeluknya.
“AAAA…. Aku kangeeeeen…. Kemana saja kamu selama tiga bulan ini tidak ada kabarnya?” Tanyaku sedikit terisak melepas rindu dengan Chris tanpa melepaskan pelukanku.
“Aku juga rindu Cici. Maaf Koko sibuk belakangan ini, dan kebetulan tiga hari ini aku libur makanya aku langsung terbang untuk melepas rindu denganmu.” Jawabnya dengan mengelus rambutku dan mengecup kepalaku dengan lembut. “Kau dari mana?” Lanjutnya setelah aku melepaskan pelukkannya dan ia menghapus air mata bahagiaku.
“Dari Grande Moschea.”
“Sendiri?” Tanyanya heran dan melihat kearah belakangku.
“Dengan teman sekamarku, namanya Zahirah, dia dari Sisilia. Umur dan pekerjaannya sama denganmu.”  Jawabku. “Zahirah, come here. He is my boyfriend.” Aku memperkenalkan Chris kepada Zahirah.
“He’s your boyfriend?” Tanya Zahirah bingung sambil menujuk ke arah Chris.
“Yup. Why?” Tanya ku yang ikut bingung dengan pertanyaannya.
“No, no think.” Jawabnya masih bingung. “Liyana Zahirah.” dia menangkupkan kedua telapak tangannya ke depan dada memperkenalkan diri kepada Chris.
 “Christian.” Chris memperkenalkan diri dan ikut menangkupkan kedua telapak tangannya ke depan dada tanpa menyentuh tangan Zahirah.
“Christian?” Ulang Zahirah yang makin terlihat bingung.
“Yes. Why?” Jawab Chris.
“No. I will back into the bedroom.” Pamit Zahirah, lalu meninggalkan kami berdua setelah kami menganggukkan kepala dan tersenyum pada Zahirah secara bersamaan.
“Kenapa dia terlihat bingung mengetahui aku pacarmu?” Tanya Chris setelah Zahirah memasuki ruang asrama.
“Entahlah.” Jawabku mengangkat kedua bahuku.
“Cici udah makan siang?”
“Belum. Koko?”
“Koko sengaja ngga makan siang, pengin makan siang bareng Cici. Tapi malah Cicinya pergi.” Chris menunjukkan wajah kecewanya.
“Aduh kasian pacarku ini. Maaf aku mana tau kamu mau datang kesini. Yaudah yuk kita makan di kantin asrama aja. Hari sabtu gini jarang ada restaurant buka, kalau bukapun pasti penuh.” Ajakku menarik tangan kiri Chris menuju kantin asrama.
Selama makan di kantin aku dan Chris bercerita tentang banyak hal selama kami berpisah benua. Sejak kami berpisah benua kami jarang berkomunikasi, di sisi biaya telepon yang sangat mahal, kamipun sibuk dengan urusan kami masing-masing sehingga jarang mengirim email. Namun tiga bulan belakangan ini Chris sama sekali tidak memberikan kabar dan membalas emailku, sehingga aku benar-benar rindu dengannya.
Setelah selesai makan Chris memintaku untuk mengantarnya mencari hotel di dekat kampusku. Karena sesampainya dia di Italia, dia langsung menuju kampusku dan belum sempat istirahat, dari wajahnyapun terlihat dia sangat kelelahan. Setelah mendapatkan hotel yang di kiranya cocok, Chris kembali mengantarku ke asrama kampus, dan ia langsung kembali ke hotelnya.
Saat memasuki kamar aku melihat Zahirah baru selesai sholat. Lalu dia memandangku penuh tanya.
“Che cosa c’è?//Ada apa?” Tanyaku bingung melihat ekspesi wajahnya ketika melihatku masuk kamar.
“Tu già preghiera?//Kamu sudah sholat?” Tanyanya menyelidiki.
“Isha? Non ancora.// Belum.”
“Asr? Maghrib?”
“Dimenticare.// Lupa.” Jawabku polos dan merasa bersalah.
“Sholat lah sekarang sebelum kau kembali lupa.” Zahirah mengingatkanku tetap dengan bahasa Italianya yang fasih.
Lalu aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan kemudian sholat. Selesai sholat aku melihat Zahirah tertidur di atas tempat tidurnya dengan buku yang masih di pegangnya. Lalu aku mengambil buku tersebut dan menyimpannya di atas meja belajar kami. Dan akupun langsung tidur di tempat tidurku setelah mematikan lampu kamar.

∞∞

Keesokkan paginya Chris menjemputku di asrama. Chris memintaku untuk menjadi tour guide pribadinya selama dia di Italia. Dan aku mengajaknya ke tempat yang tidak terlalu jauh dari Kota Roma, aku mengajaknya ketempat wisata yang pernah aku kunjungi saat mengikuti tour musim dingin dua tahun lalu seperti Bocca della Verità, Roman Forum, Colosseum, Pantheon dan hingga ke Pissa. Hari ini kami benar-benar merasa sangat bahagia setelah enam bulan kami tidak bertemu dan kini kami bertemu ketempat yang sangat aku sukai. Setelah lama kami berjalan kaki kami beristirahat sejenak di kursi pinggir taman Pissa, di dekat sini tidak terlalu banyak orang, para turis lebih banyak memenuhi Duomo dan Leaning Tower di tengah taman.
“Aku seneng sekali sayang hari ini. Makasih yah udah mau jadi tour guide pribadiku hari ini.” Ucap Chris sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
“Iya sayang, Cici juga seneng bisa jalan bareng Koko lagi. Makasih yah udah mau dateng jauh-jauh dari Jakarta ke Roma, maaf aku belum bisa pulang di saat kuliahku libur.” Kataku sedikit menyesal dan aku menyandarkan kepalaku ke bahu kanannya Chris.
“Ngga apa-apa sayang, Koko ngerti kok.” Dan Chris mengecup keningku dengan lembut. “Aku sayang banget sama kamu Bel.”
“Aku juga saayaaaaaang banget sama kamu Chris.” Lalu aku memeluk erat perut Chris, menandakan rasa rindu dan sayangku padanya.
“Aduh perutku sakit, jangan terlalu keras dong meluknya.” Rintih Chris dan sedikit melonggarkan pelukan tanganku.
“Hehe.. maaaaf, abis aku kangen banget Chris.” Sesalku dan melepaskan pelukkanku. Lalu Chris berdiri dari duduknya dan aku bingung ketika ia berjongkok dengan posisi lutut kiri di tanah, di hadapanku. Kemudian ia merogoh saku celana kirinya dan mengeluarkan kotak kecil berwarna biru tua dari dalamnya.
“Bella, ti amo. Mi vuoi sposare?” Ucap Chris membuka kotak kecil tersebut, terlihat sebuah cincin emas putih dengan berlian kecil berwarna shapier blue di atasnya. Dan aku hanya menunjukkan ekspresi sedikit kaget dan bingung.
“Kenapa? Apa ucapanku salah?” Tanya Chris bingung.
“Memang apa yang kau ucapkan?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“I love you, will you marry me.  Salah yah?” Chris terlihat bingung dan menggaruk kepalanya. Aku pun hanya menahan tawa ketika melihat tingkahnya.
“Nggaaa..” Jawabku masih menahan tawa.
“Kau tidak mau menikah denganku?” Tanya Chris kecewa.
“Maksudku, ucapanmu tidak salah ..” Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Chris handphone ku berdering, lalu mati ketika aku belum sempat menerima panggilannya.
“Siapa?” Tanya Chris, masih dengan posisi yang sama.
“Zahirah, tapi terputus. Bentar.” Jawabku mengecek handphone.
Dua pesan masuk dari Zahirah? Batinku, ada apa dia mengirim dua pesan dan menelfonku? Lalu aku membuka pesan yang masuk di handphoneku.
Messaggi  1:
Non dimenticare di preghiera Dzuhur, Bel.// Jangan lupa sholat Dzuhur, Bel.
Messaggi  2:
Non dimenticare di preghiera Asr, Bel.
Tanpa aku sadari aku meneteskan air mata. Zahirah mengingatkanku sholat. Aku sudah melupakan sholat. Batinku.
 Aku yakin, Zahirah khawatir ketika aku jalan dengan Chris aku melupakan sholat, karena kemarin akupun melupakan waktu sholat. Ketika aku mengingat-ingat kapan terakhir aku sholat ketika sedang jalan dengan Chris, aku sama sekali tidak ingat. Aku tidak pernah ingat waktunya sholat ketika jalan dengan Chris, karena memang dia tidak pernah sholat, dan aku terlalu bahagia ketika sedang bersamanya sehingga melupakan waktu yang sedang berjalan.
“Kamu kenapa sayang? Apa yang terjadi dengan Zahirah?” Tanya Chris khawatir lalu ia duduk kembali di sampingku.
Aku hanya menggelengkan kepala dan mengelap air mataku. Lalu aku memandangi wajah dan mata coklatnya.
“Kau ingin menikah denganku?” Tanyaku bimbang.
“Tentu Bel, aku mencintaimu.” Jawabnya yang terlihat bingung. “Kau juga mencintaiku kan?” Tanyanya.
“Lalu bagaimana dengan perbedaan kita?” Tanyaku dengan menahan air mata yang akan keluar.
“Ngga masalah, kita bisa menikah dengan perbedaan kita. Selama ini hubungan kita baik-baik saja kan dengan perbedaan ini?”
“Lalu kita akan menikah dimana?”
“Tentu di gereja.”
“Bagaimana caranya Chris? Aku seorang wanita, dan dalam agamaku pria yang ingin menikahiku harus mengucapkan ijab khobul di hadapan penghulu dan para saksi.” Tanyaku dan aku langsung menghapus air mataku ketika menetes dipipi.
“Papih pasti ngga akan setuju dengan itu Bel, kau tau sendiri papihku seperti apa.”
“Lalu apa ketika kita menikah di gereja kedua orang tuaku akan setuju Chris? Pasti ngga akan setuju. Ayah dan bunda pasti akan marah. Apa lagi kita merahasiakan perbedaan ini dari orang tuaku. Pasti mereka bakal marah banget.” Aku menarik napas panjang dan menahan rasa sakit di jantungku, air matapun mulai membanjiri pipiku ketika aku membuang napas.
“Lalu apa idemu agar pernikahan kita berjalan?”
“Dua kalimat syahadat.” Jawabku tanpa ragu.
“Ngga mungkinlah Bel, bisa di bunuh aku sama papih. Kenapa ngga kamu aja yang di babtis?”
“Aku ngga bisa Chris. Selama enam bulan aku di sini, aku belajar banyak hal tentang Islam yang sebelumnya aku dapat saat di Indonesia. Dan itu membuatku merasa nyaman hidup disini walau jauh dari orang tuaku.”
“Lalu harus bagaimana?” Tanya Chris sedikit marah.
“Bisa kah kamu berkorban untuk ku Chris?” Tanyaku dengan memasang wajah memohon.
“Berkorban? Kenapa ngga kamu yang berkorban untukku Bel?”
“Kamu bilang kamu cinta denganku. Tapi kenapa ngga mau berkorban untukku Chris?” Tanyaku sedih.
“Lalu bagaimana denganmu? Kamu juga bilang cinta denganku. TAPI KENAPA HARUS AKU YANG SELALU BERKORBAN UNTUKMU BEL? KENAPA?” Tanya Chris marah dan berdiri di hadapanku. Aku hanya bisa menangis diam tidak bisa menjawab. “Kamu ingat saat Desember dua tahun lalu? Ketika kamu bilang ingin pergi tour musim dingin di Roma denganku? Aku tidak jadi ikut karena jadwalnya yang bentrok dengan ko’ass ku, tapi aku dateng ke Vinezia di hari ulang tahunmu. Tapi apa sambutanmu untuk ku? Aku melihatmu berciuman dengan Stefano di pinggir jalan. Sepulangnya aku mengajakmu ke Bali untuk berlibur selama seminggu dan semua biaya aku yang nanggung. Lalu siapa yang membawamu ke sini? Papihku Bel, beliau yang membiayaimu kuliah di Universitas terbaik di Italia hingga asramanya. Dan sekarang, aku berada di hadapanmu, kamu tahu aku rela jauh-jauh datang dari Indonesia ke Italia hanya untuk melamarmu. TAPI APA PENGORBANMU UNTUKKU BEL? APA?! BAHKAN KAMU TIDAK PULANG KE INDONESIA DI SAAT LIBUR SEMESTERMU.!” Lanjut Chris dengan amarah yang tidak pernah aku lihat sebelumnya dan membuatku takut.
“Kenapa kamu jadi perhitungan Chris?” Tanyaku takut.
“Siapa yang perhitungan Bel? Tadi kamu kan yang nanya kenapa aku ngga mau berkorban untukmu? Dan sekarang aku yang balik tanya, pengorbanan apa yang udah kamu lakuin buat aku?” Tanya Chris kesal.
“Maaf Chris jika selama ini aku ngga banyak berkorban untuk mu, … maaf jika selama ini aku hanya bisa merepotkanmu, … maaf jika aku membuatmu kecewa.” Jawabku dengan pipi yang di banjiri air mata.
“Lalu apa maumu sekarang Bel?” Tanya Chris yang merasa kecewa.
“Aku ingin sholat Chris.” Jawabku. “Ini sudah waktunya aku sholat Ashar.” Jelasku ketika melihat ekspresi bingungnya Chris.
“Baiklah, apa ada masjid di dekat sini?”
“Grande Moschea, dekat Kota Vatikan.” Jawabku cepat. Aku hanya mengetahui satu masjid di Roma.
Lalu kamipun pergi ke Grande Moschea. Selama di perjalanan kami hanya terdiam seribu bahasa. Aku tidak tahu ada dimana pikiranku selama kami berjalan, aku sering sekali menabrak turis yang berpapasan denganku.
Sampainya di Grande Moschea aku langsung mengambil air wudhu dan bergegas sholat Ashar. Selama aku sholat aku meneteskan air mata, aku merasa bersalah dan berdosa sekali dengan Allah karena meninggalkan kewajibanku sebagai umat muslim ketika berjalan dengan kekasihku yang berbeda denganku. Selesai sholat akupun berdoa pada Allah, meminta petunjuk untuk keluar dari masalah yang sedang aku dan Chris hadapi. Setelah selesai akupun langsung berjalan menuju pintu keluar masjid, dan aku melihat Chris duduk di anak tangga masjid dengan posisi kepala di tundukkan ke kedua tangannya yang berada di atas lutut kakinya.
Apakah dia sedang menangis? Batinku. Aku hanya berdiri diam di 10 anak tangga di atas Chris duduk. Aku hanya bisa melihat punggungnya dari atas, aku memperhatikannya cukup lama. Jantungku mulai terasa sakit, air mataku menetes dengan cepat. Ingatanku mengulang kembali ke waktu saat bersamanya, awal kami bertemu, awal kami jalan bersama, awal aku mulai jatuh cinta dengannya, awal kami berpacaran, hingga saat-saat bersama di Italia tahun lalu. Sudah banyak waktu, momen, dan kebahagiaan yang kita lewati bersama.
Lalu aku cepat-cepat membersihkan air mataku dipipi ketika melihatnya mengangkat kepala, dia terlihat lelah, aku bisa melihatnya dari pundaknya saat dia menarik napas panjang dan membuangnya. Dan aku berjalan pelan melangkah turun mendekatinya ketika ia menyerongkan tubuhnya dan melihat kearahku.
“Aku lelah.” Katanya lalu berdiri dari duduknya.
“Kembalilah ke hotel, aku akan di sini hingga Isya. Zahirah sebentar lagi akan datang kemari.” Perintahku. Lalu Chrispun berlajan gontai meninggalkan Grande Moschea.

Aku menunggu Zahirah di dalam masjid. Zahirah selalu datang kemari setengah jam sebelum adzan magrib berkumandang untuk melaksanakan sholat Magrib dan Isya. Selagi aku menunggu Zahirah, aku membuka Al-Quran dengan terjemahan bahasa Italianya. Aku hanya membaca terjemahannya saja, mencoba memahami isi kandungan dari Al-Quran tersebut.
Tidak lama kemudian, Zahirah datang dan menghampiriku ketika ia melihatku sedang membaca Al-Quran. Setelah selesai sholat Maghrib aku dan Zahira duduk di pinggir halaman masjid, aku menceritakan semuanya pada Zahirah tentang hubunganku dengan Chris yang berbeda dengan kami, aku menceritakan semua yang Chris katakan ketika di taman dekat Pissa tadi dengan tersedu-sedu.
“Che cosa la prossima cosa faresti?//Apa selanjutnya yang akan kamu lakukan?” Tanya Zahirah ketika aku selesai bercerita dan memberikan tisu untuk menghapus air mataku.
“Non lo so.//Aku tidak tahu.” Jawabku bingung masih dengan wajah yang di banjiri air mata.
“Fine!//Akhiri!” Ucap Zahirah dengan tegas. Air mataku makin deras dan dadaku terasa sangat sakit ketika mendengar satu kata yang baru saja Zahirah ucapkan. “Non c’è alto modo.//Tidak ada cara lain.” Lanjutnya ketika melihat air mataku tidak berhenti mengalir. Dan aku hanya diam tidak bisa mengucapkan satu katapun.
“Azan.” Zahirah mengingatkan, dan mengajakku untuk masuk kembali ke dalam masjid ketika mendengar adzan Isya berkumandang. Dan kamipun kembali masuk ke masjid dan melaksanakan sholat Isya.
Sepulang dari Grande Moschea kami kembali ke asrama. Aku mencoba untuk tidur, namun hingga tengah malam mataku sulit untuk di pejamkan, perkataan Chris dan Zahirah terus terngiang-ngiang di kepalaku. Bantalku kini basah di penuhi air mata dan ingus. Aku membalikkan tubuhku memunggungi Zahirah ketika alarm Zahirah berbunyi. Aku pura-pura memejamkan mata ketika alarm Zahirah berhenti berbunyi.
“Bel, Tahajud.” Zahirah menggoyangkan pundakku dengan pelan.
“Hmm..” Responku masih dengan posisiku yang berpura-pura tidur. Lalu Zahirahpun pergi ke kamar mandi.
Hingga Zahirah mematikan lampu kamar, aku masih dalam posisiku saat Zahirah mematikan alarmnya.
Aku masih saja berkali-kali menggulingkan tubuhku ke kanan dan  ke kiri  mencoba untuk tidur, namun hatiku gelisah, pikiranku tidak karuan memikirkan semuanya. Hingga alarm Zahirah kembali berbunyi, aku kembali memunggungkan Zahirah dan berpura-pura tidur. Sepertinya Zahirah sedang sahur, karena aku dapat mencium bau makanan di dalam kamar.

“Bel, preghiera Alba.//Bel, sholat Subuh.” Zahirah memukul-mukul pelan pergelangan tanganku ketika waktu memasuki subuh.
Sì.// Iya.” Jawabku pelan dan masih dengan posisiku yang sama.
Ketika Zahirah sedang sholat aku bergegas pergi kekamar mandi dan mengambil air wudhu. Selesai sholat aku pergi keluar asrama setelah memberi tahu Zahirah. Aku tidak mau Zahirah tahu bahwa aku semalaman hanya menangis dan tidak bisa tidur. Setelah Zahirah sholat Subuh dia tidak pernah kembali tidur, namun membaca buku atau mengerjakan tugas kuliahnya. Aku kembali ke asrama setelah aku benar-benar merasa tenang dan air mataku tidak lagi keluar.

Hari ini aku tidak masuk kuliah, melainkan mengantar Christ ke Bandara Fiumicino untuk kembalinya ia ke Indonesia. Selama di perjalanan kamipun masih diam, Chris berbeda dari biasanya, dia lebih banyak diam membisu dan selalu memalingkan wajahnya dariku.
“Chris, maafkan aku.” Ucapku ketika Chris hendak memasuki pintu masuk bandara. Chris hanya berdiri diam melihatku dengan wajah yang tidak dapat aku gambarkan. “Maafkan aku, aku sangat mencintaimu, dan maaf, aku ngga bisa berbuat banyak untuk hubungan kita.” Lanjutku. Dan Chris masih diam di tempatnya.
“Mungkin lebih baik hubungan ini kita akhiri saja.” Ucapku setelah tidak ada respon apa-apa dari Chris. Dan iapun masih tetap diam dengan ekspresi wajah yang benar-benar tidak dapat aku gambarkan.
“Aku harus chek-in”. Ahkirnya ucap Chris lalu meninggalkanku di depan pintu masuk bandara. Air mataku mulai menetes, dan jantungku sakit sekali, rasanya seperti di ikat dengan benang senar yang tajam kemudian di tarik untuk lepas dari tempatnya.

*FINE//SELESAI*