FINE
“AAAAA…..”
teriakku senang ketika membaca email masuk.
“Kenapa
Bel?” tanya kaget seorang wanita yang tidak aku sadari telah masuk ke ruangan.
“Ah,
ngga apa-apa Dok cuma seneng aja. Hehe.” Jawabku kaget ketika melihat Dokter
Vita masuk keruangan.
“Hayoo…
kenapa? Selingkuhan yah?” Ledek Dokter Vita.
“Haha
ngga lah Dok.” Jawabku dengan tangan kanan memukul angin pelan dan masih dengan
senyuman bahagia.
“Hmmmm…”
Goda Dokter Vita dan aku hanya tersenyum malu.
“Pasien
selanjutnya jam berapa Bel?” Lanjut Dokter Vita.
“Bentar
Dok.” Aku membuka catatan jadwal pasien Dokter Vita “Jam 13.15 Dok.” Jawabku.
“Hm..”
Respon Dokter Vita, lalu ia duduk di kursi meja kerjanya dan membuka map biru
tua yang tersimpan di atasnya.
“Dok,
saya boleh izin keluar sebentar?” Tanya ku ragu, dan Dokter Vita hanya
menganggukkan kepalanya pelan tanpa mengalihkan matanya dari catatan didalam
map yang sedang di bacanya. Lalu setelah mendapatkan izin keluar oleh dokter
Vita akupun berlari kecil menuju ruangan praktek dokter umum.
“Sus,
Dokter Chrisnya lagi ada pasien yah?” Tanyaku pada salah satu wanita berpakaian
suster berwarna biru muda yang berada di meja form dekat ruangan dokter umum.
“Iya
Bu.” Jawabnya singkat.
“Masih
berapa lagi?”
“Tinggal
yang didalam aja Bu.”
“Ok,
terimakasih sus.” Aku berjalan menuju ruangan dokter yang bertuliskan ‘DOKTER
UMUM, dr. Christian’ di dinding dekat pintu masuk ruangan dan aku duduk di
kursi tunggu depan ruangan tersebut. Tanpa aku menunggu lama, pasien yang
berada di dalam pun keluar dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan ketika
melihat aku berdiri dan siap-siap untuk masuk keruangan tersebut. Akupun
membalas senyumannya, lalu buru-buru masuk keruangan tersebut tanpa mengetuknya
terlebih dahulu.
“Ya?”
Tanya Christian yang berada di dalam ruangan tanpa mengalihkan pandangannya
dari komputer yang ada di depannya.
“Serius
amat.” Kataku ketika ia tidak melihat kearahku dan aku duduk di depannya.
“Cici,
ada apa?” Tanyanya sedikit kaget setelah melihat kearahku dan sedikit memutar
kursinya untuk menghadapku.
“Kamu
masih ingat dengan Stefano? Temanku yang berada di Vinezia?”
“Iya.
Kenapa?”
“Dia
besok akan bertunangan, dan bulan April pernikahannya.” Ceritaku antusias.
“Kamu
ingin hadir di pernikahannya?” Tanya
Christian menyelediki. Dan aku menganggukkan kepalaku dengan kencang dan
memasang wajah memohon.
“Apa
kamu sudah berbicara dengan bunda?”
“Kalau
aku datang kesana sendiri akan sulit mendapatkan izinnya.” Jawabku sedih.
“Bagaimana
dengan hasil tes beasiswamu?”
Aku
menggelengkan kepala pelan dengan wajah sedih “Susah sekali mendapatkan
beasiswa master psikologi di sana.” Aku sedikit membungkukkan badan
menandadakan kecewa.
“Jangan
sedih, di coba lagi, kan kamu baru dua kali mencobanya. Bicaralah dengan bunda
jika kamu ingin hadir di pernikahan Stefano, setelah itu aku akan atur dengan
jadwalku.” Hibur Chris sambil mengacak rambutku dengan lembut.
Setelah
mendapatkan jawabannya akupun keluar dari ruangan praktek Chris dan kembali
menuju ruang praktek Dokter Vita.
∞∞
“Hai
Bel!” Sapa seorang laki-laki yang baru masuk ruangan.
“Pih!”
Jawabku setelah melihat orang yang menyapaku dan aku berdiri menghampirinya
serta mencium tangan kanannya “Sabtu-sabtu praktek Pih?”
“Iya,
tadi ada operasi, dokter jaganya mendadak ada halangan jadi Papih yang melakukkan
operasi. Kata Chris kamu gagal tes beasiswa lagi?” Tanyanya lalu ia merangkulku
menuju sofa tempat Chris bersantai.
Aku
hanya menganggukkan kepalaku pelan dan kembali bersedih.
“Kamu
ingin sekali melanjutkan kuliah di Italia?” Tanya Papihnya Chris. Dan aku hanya
bisa kembali menganggukkan kepalaku pelan.
“Papih
yang biayain mau?” Tawarnya dan membuat ku kaget.
“Papih
biayain?” Ulangku meyakinkan pendengaranku tidak salah.
“Iya.
kamu bilang kan ingin kuliah lagi di Italia, tapi karena kamu di suruh biaya
sendiri oleh orang tuamu makanya kamu mencoba beasiswa, tapi katamu sulit, yah
Papih permudah. Papih sama Mamih kan sudah anggap kamu seperti anak kami
sendiri.” Jelasnya.
Aku
menjadi bingung harus bagaimana, aku senang karena ada yang mau membiayai aku
untuk kuliah di Italia Negara impianku dari SMA tapi ia hanya orang tua dari
kekasihku. Aku dan Chris sudah berpacaran tiga tahun, dan aku memang dekat
dengan orang tua Chris, karena Chris anak tunggal jadi orang tuanya senang
sekali ketika Chris mengajak kekasihnya untuk main kerumahnya. Jadi ya wajar
jika aku sudah di anggap seperti anak mereka sendiri.
“Bagaimana
Bel?” Tanyanya kembali ketika aku lama berdiam. “Kamu ngga perlu ngerasa ngga
enak. Anak Papihkan hanya Chris, dia pun sudah mendapatkan beasiswa hingga
profesi di sini, jadi Papih ingin merasakan membiayai kuliah anak sendiri.
Papih hanya akan membiayaimu kuliah dan asrama saja jika kamu masih ngerasa
ngga enak.”
“Aku
pikirkan dulu yah Pih.” Jawabku masih menimbang-nimbang tawaran Papihnya Chris.
“Baiklah
jika kamu masih ingin memikirkannya terlebih dulu.” Lalu Papihnya Chris pergi
kekamarnya dan tak lama iapun kembali dengan membawa beberapa lembar kertas
“Ini di baca-baca dulu sambil kamu pertimbangkan.” Tawarnya sambil memberikan
kertas yang tadi di ambil dari dalam kamarnya, lalu iapun kembali kekamarnya.
Aku
dan Chris membaca kertas yang di berikan Papih Chris, yang ternyata itu print-an
brosur salah satu universitas di Italia dengan penjelasannya fakultasnya.
Peringkat
Dunia : 91
Lokasi
: Roma, Italia
Sapienza
University of Rome didirikan kembali pada tahun 1303, menjadikan sebagai salah
satu universitas tertua di Eropa. Sekarang universitas ini telah berkembang
pesat, dengan 125.000 mahasiswa, 59 perpustakaan, dan 21 museum.
Fakultas
:
Arsitektur,
Teknik
Industri & Sipil,
Ekonomi,
Teknik
Informasi, Informatika & Statistik,
Hukum,
Matematika,
Fisika, Dan Pengetahuan Alam,
Ilmu
Kedokteran & Kedokteran Gigi,
Ilmu
Kedokteran & Psikologi,
Farmasi
& Ilmu Kedokteran,
Seni
& Sastra,
Ilmu
Pengetahuan Politik, Sosiologi, & Ilmu Pengetahuan Komunikasi.
∞∞
Setelah beberapa hari aku memikirkan tawaran
Papihnya Chris aku memutuskan untuk menerima tawarannya untuk di biayai kuliah
di Italia. Aku merasa sia-sia kursus bahasa Italia 7 bulan dengan biaya dua
juta di Italian Instituto of Culture di Jakarta tapi aku tidak jadi kuliah di
Italia. Aku mulai tes melalui online di awal bulan februari dan dua minggu
setelah tes hasilnya keluar. Tes untuk kuliah regular tidak sesulit tes untuk
beasiswa, dan aku akhirnya di terima di Universitas Sapienza di Roma dengan
jurusan Ilmu Kedokteran dan Psikologi, karena aku lulusan sarjana psikologi dan
aku sudah hampir satu tahun bekerja sebagai asisten psikiater di salah satu
rumah sakit swasta ternama di Jakarta, jadi aku mengambil jurusan yang ada
hubungannya dengan pengalamanku.
Tentang orang tuaku mereka tidak tahu hal
ini, aku mengatakan bahwa aku mendapatkan beasiswa yang aku ajukan dan semua
hidupku di sana sudah di tanggung oleh beasiswaku (aku benar-benar mendapatkan
beasiswa, dari Papihnya Chris tapinya). Aku tidak mengatakan bahwa ini dapat
dari Papihnya Chris karena pastinya tidak akan di bolehkan untuk menerima
tawaran ini. Aku menerima tawaran Papihnya Chris karena aku menganggap ini adalah
sebuah kesempatan besar untuk mewujudkan mimpiku yang belum tentu akan datang
dua kali.
Aku berangkat ke Italia awal bulan maret,
satu minggu sebelum perkuliahanku di mulai. Aku di antar oleh orang tuaku dan
Chris ke Bandara Soekarno Hatta. Aku dan Chris menyusun rencana agar orang tua
Chris tidak ikut untuk mengantarku ke bandara, karena aku dan Chris tidak ingin
orang tua kami bertemu.
Sesampainya aku di Bandara Fiumicino,
Roma, aku di jemput oleh Stefano sahabat Italiaku dengan Ferrari hitam yang
sudah tak asing untukku. Saat ini Roma sedang memasuki musim semi dengan suhu
antara 160-170C, beda sekali dengan keadaan pertama kali
aku berkunjung kesini saat Desember dua tahun lalu yang bersuhu hingga -30C.
Aku
menikmati perjalananku menuju Vinezia, tempat kediaman Stefano. Kami banyak bercerita
tentang kehidupan kami satu tahun belakangan ini, namun Stefano yang lebih
banyak bercerita tentang ia dan Luria yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Katanya pacaran itu tidak perlu lama-lama, ketika dua orang saling jatuh cinta
dan saling mengenal untuk apa berlama-lama dalam status hubungan yang tidak
terikat dengan perjanjian Tuhan karena bisa saja salah satu atau keduanya akan
berkhianat saat tidak berjanji atas nama Tuhan. Aku sungguh menggumi dirinya,
dia berbeda dengan laki-laki Eropa lainnya.
Hingga sampai di Vinezia aku sedikit kaget
dengan suasana disini, suasananya benar-benar berbeda dengan Januari tahun lalu
saat aku berkunjung kesini. Stefano bercerita ketika Vinezia memasuki musim
semi dan panas akan sangat ramai dengan para turis, dan sangat berbeda saat
Vinezia memasuki musim dingin. Stafano pun bercerita, Vinezia sering terjadi il
period dell’acqua alta atau periode naiknya level air, ini seperti banjir kecil
yang di sebabkan oleh scirocco, angin yang berasal dari padang pasir, dari
daerah arab, afrika. Dengan angin level air akan menjadi meningkat, sehingga
air laut sampai ke area kota air, Vinezia. Ini akan sangat mengganggu ketika kamu
ingin berjalan menyusuri kota ini, tapi jika kamu menggunakan sepatu boot itu
tidak akan menjadi masalah. Aku sedikit tertawa lucu mendengarnya, ternyata
selain Jakarta yang sering dapat banjir kiriman dari Bogor, Vineziapun dapat
dari Negara tetangga.
Saat sampai di rumah Stefano aku kembali di
sambut hangat oleh Signora dan Signor Andrea orang tua Stefano, serta Luria
tunangan Stefano. Petrecca adik Stefanopun ikut meramaikan sambutan
kedatanganku, ia langsung menagih titipan oleh-oleh yang beberapa hari lalu di
mintanya. Karena aku dari jawa jadi aku membawakan beberapa baju dan kain batik
dari beberapa daerah di Jawa Tengah, mereka sangat menyukai motif-motif batik
yang aku berikan. Orang luar emang lebih menghargai kerajinan dan hasil karya
Indonesia di bandingkan dengan pribumi. ckck
Satu minggu sebelum di mulainya
perkuliahanku, aku tinggal di rumah Stefano dan membantunya untuk persiapan
pernikahannya dengan Luria. Setelahnya Petrecca membantuku untuk melaporkan
daftar diriku sebagai mahasiswa dari Indonesia ke kantor polisi, mencari
pekerjaan part time, serta mengantarku ke Kedutaan Besar Indonesia di Roma.
Setelah itu kami ke asrama kampus baruku, Petrecca juga mahasiswi tahun kedua
di Sapienza, dia mengambil jurusan Arsitektur. Karena Vinezia jauh dari Roma
maka Petreccapun tinggal di asrama, namun karena kami beda tingkatan, dia
sarjana dan aku master gedung asrama kamipun berbeda.
∞∞
Sepulang dari acara pernikahan Stefano aku
langsung kembali ke asrama. Dua minggu pertama di asrama aku tidak mengenal
siapa teman sekamarku, kami masih sibuk dengan urusan kami masing-masing.
Bahkan aku tidak menyadari bahwa teman sekamarku ternyata seorang Muslim, aku
bisa melihatnya dari pakaian yang ia kenakan, ia memakai jilbab panjang yang
hampir menutupi seluruh tubuhnya kecuali pergelangan tangan dan wajahnya.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku setelah mengetuk
kamar yang sedikit terbuka.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab wanita berjilbab
ungu muda yang sedang membaca buku di atas tempat tidurnya. Kemudian aku masuk
berjalan mendekatinya.
“We have not had time to get acquainted. My
name is Bella, twenty-four years, from Indonesia. Are you?” Kataku
memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan kananku untuk berjabat tangan
dengannya.
“I’m Liyana Zahirah,
twenty-six years, from Sisilia.” Jawabnya dan menerima jabatan tanganku.
“Liyana Zahirah? Bel
nome.//Nama yang indah.” Pujiku, lalu aku duduk
di atas tempat tidurku yang bersebrangan dengan tempat tidurnya, dan melepaskan
ransel yang aku gendong di punggung serta mengeluarkan barang-barang dari
dalamnya.
“Grazie, è lei il musulmano?//Terimakasih, apakah kamu Muslim?” Tanyanya sedikit
ragu dan menutup buku yang telah dibacanya.
“Sì, io musulmano. Perchè?//Iya, aku Muslim kenapa?” Jawabku sedikit bingung dan
menghentikan kegiatanku.
“Tidak apa-apa. Tadi saat kamu masuk kemari kamu
mengucapkan salam, dan kamu berasal dari Indonesia, Negara Muslim tebesar di
dunia.” Jawabnya dengan bahasa Italia yang sangat fasih. Dan aku hanya
tersenyum mendengar pernyataannya tentang Indonesia sebagai Negara Muslim
terbesar di dunia, lalu aku melanjutkan merapihkan barang bawaanku.
“Tapi kenapa kamu tidak menutupi auratmu?”
Lanjut Zahirah dan membuatku sedikit kaget.
“aaah, di Indonesia tidak semua Muslim
menggunakan jilbab.” Jawabku enteng.
“Tapi bukankah kitab suci Muslim di
Indonesia dengan dunia sama, yaitu Al-Quran?”
“Tentu.” Jawabku sedikit bingung, dan masih
merapihkan barang-barangku.
“Lalu kenapa tidak semua Muslim di Indonesia
mengenakan jilbab? Bukankah di dalam Al-Quran banyak surat yang menjelaskan
tentang kewajiban seorang wanita untuk menutupi auratnya? Lalu kenapa wanita di
Indonesia tidak mengikuti aturan yang di buat Allah?” Tanya Zahirah yang
penasaran. Pertanyaan Zahirah membuatku kaget dan menghentikan kegiatanku
“hmmm…” Jawabku. Pertanyaan-pertanyaanya
benar-benar membuat aku bingung dan aku tidak tahu harus menjawab apa, aku
hanya bisa memasang wajah bingung dengan menggigit bibir kanan bawahku serta menggaruk
leher belakang yang tidak gatal dengan tangan kiriku.
“Kenapa?” Tanyanya dan menunggu jawabanku.
“Aku tidak tahu soal itu. Mungkin Muslim di
Indonesia tidak semuanya membaca Al-Quran.” Jawabku mengira-ngira.
“Tapikan semua Muslim wajib membaca
Al-Quran? Kenapa mereka tidak membaca Al-Quran?”
“Aku tidak tahu kenapa mereka seperti itu.”
Jawabku sedikit jengkel.
“Lalu bagaimana dengamu?”
“Aku?”
“Iya. Apa kamu juga tidak membaca Al-Quran?”
“Aku membacanya.” Jawabku mengingat-ingat
kapan terakhir aku membaca Al-Qur’an.
“Tapi kenapa kamu tidak mengenakan jilbab?”
Aku hanya memasang wajah bingung dan
mengangkat kedua bahuku sebagai tanda tidak tahu, lalu dia berhenti bertanya
ketika dia melihat aku kebingungan. Pertanyaan-pertanyaan Zahirah benar-benar
membuatku bingung untuk dijawab dan aku sedikit malu dengannya. Dia tinggal di
Italia, dimana orang Muslim masih sebagai minoritas, tapi dia terlihat Islami,
sedangkan aku lahir di Negara yang katanya sebagai Negara Muslim terbesar di
dunia hanya mengenakan celana jins dan kaos tidak berlengan.
“Apakah kau mualaf?” Tanyaku tiba-tiba.
“Tidak, kedua orang tuaku Muslim, ayah asli
keturunan Sisilia dan ibu keturunan Siena. Kalau ibuku memang mualaf sebelum
menikah dengan ayah. Kenapa?”
“Apa semua keturunan asli Sisilia adalah Muslim?”
Tanyaku yang penasaran.
Lalu ia bercerita tentang sejarah Islam di
Italia yang bermula pada abad ke-9, ketika Sisilia dan
beberapa wilayah di Semenanjung Italia menjadi bagian kekuasaan Ummah
Muslim antara tahun 828 (Penakluk
Muslim Sisilia) dan pada tahun 1300 (kehancuran benteng pertahanan Islam
terakhir di Lucera, Puglia), Islam hampir tidak ada lagi di Italia
sejak zaman penggabungan negara pada tahun 1861 hingga tahun 1970-an,
saat gelombang pertama imigran dari Afrika
Utara mulai tiba. Bangsa tersebut, umumnya berasal dari bangsa Berber
dan Arab, yang kebanyakan datang dari Maroko. Sebagian juga datang dari Albania,
dan beberapa tahun kemudian, mereka juga diikuti oleh orang-orang Mesir,
Tunisia, Senegal, Somalia, Pakistan dan lain-lain.
Dan kini terdapat kurang lebih
1,5 juta jiwa berkebangsaan Italia yang beragama Islam. Mereka merupakan orang
asing yang menjadi warga negara Italia dan penduduk asli Italia yang memeluk
Islam. Islam tidak secara formal diperkenalkan oleh Negara Italia di samping
menjadi kepercayaan terbesar kedua setelah Katolik. Kepercayaan lain termasuk
Yahudi dan grup yang lebih kecil seperti Gereja Sidang-Sidang Jemaat
Allah dan Gereja Advent Hari Ketujuh, telah disetujui oleh pemerintah Italia.
Pengenalan resmi telah memberikan kepercayaan tersebut sebuah kesempatan menguntungkan
dari ‘pajak agama’ nasional yang dikenal sebagai delapan per-seribu.
Zahirah juga bercerita tentang keluarganya
yang mengajarkan Islam mulai dari sejarah kedatangan Islam di Sisilia hingga
keseluruh Italia, belajar bahasa arab untuk memahami isi kandungan dari
Al-Qur’an dan banyak hadist-hadist yang telah di ajarkan oleh orang tua Zahirah
kepada anak-anaknya. Jadi aku tidak heran jika Zahirah dengan lancar
menceritakan sejarah perkembangan Islam di Kotanya dan memahami isi kandungan
Al-Quran.
Aku tidak tahu jika ternyata Islam telah
menjadi agama kedua di Italia setelah Katolik. Subhanallah. Tapi kenapa Negara
Italia tidak memperkenalkannya secara formal, tidak seperti agama lain?
“Tu perchè?//Kamu
kenapa?” Tanya Zahirah membuyarkan lamunanku.
“No, va bene.//Tidak,
tidak apa-apa.” Jawabku, ternyata tanpa aku sadari aku meneteskan air
mata ketika mendengarkan Zahirah bercerita tentang Islam di Italia. Entah sudah
berapa lama aku tidak mendengarkan sejarah Islam, selama ini yang orang tuaku
ajarkan hanya rukun Islam dan rukun iman, kedua orang tuaku pun tidak pernah
memaksakanku untuk berjilbab, walau bundaku sendiri berjilbab. Baru beberapa
jam aku mengenal Zahirah aku sangat merasa malu sebagai sesama Muslim tapi
berbeda dengan Zahirah, mulai dari cara berpakaian dan pemahaman tentang Islam.
∞∞
Setelah lima bulan lebih aku mengenal Zahirah,
aku banyak belajar tentang Islam. Dia benar-benar orang yang sangat Islami,
bahkan hingga makananpun tidak lupa dia perhatikan. Dia tidak pernah mau makan
masakan di kantin kampus maupun asrama, padahal kami yang tinggal di asrama
sudah mendapatkan makan pagi dan malam. Dia bilang takut makanan yang di masak
tidak halal, aku kira makanan tidak halal itu hanya dagingnya saja, tapi alat
masak dan alat makan yang telah terkena daging tidak halal itupun menjadi tidak
halal makanannya untuk kami makan. Aku jadi ingat bahwa aku sering makan di
rumah Chris yang tidak tahu apakah keluarganya pernah masak makanan yang tidak
boleh aku makan. Dan saat natal di Aventino aku jelas-jelas melihat daging babi
di hidangkan, aku tidak memakan daging itu, tapi makan masakan yang lainnya.
Zahirahpun tak jarang mengajakku sholat di
Masjid Roma atau yang sering di sebut Grande Moschea saat weekend, masjid
megah yang menarik dan unik ini didesain arsitek Italia Paulo Porthogesi,
masjid ini dapat menampung sekitar 40.000 jamaah. Lokasinya berdekatan dengan
Kota Vatikan dan Sinagog Yahudi. Dari lembah Tiber, masjid itu tampak menjulang
tinggi menyaingi Montenne, sebuah bukit yang sangat subur di utara kota Roma.
Bagi penduduk Roma yang mayoritasnya penganut Katolik Roma, mereka juga bangga
dengan adanya sebuah bangunan yang didominasi warna kuning muda dengan becak
lumut di catnya itu. Bangunan pusat kegiatan umat Islam itu, mereka nilai,
memiliki keistimewaan di banding dengan berbagai bangunan megah lainnya yang
ada di kota itu. Di antara keistimewaannya, 16 kubah ditambah sebuah kubah
besar di tengah yang atasnya dihiasi dengan bulan sabit, serta sebuah menara
berbentuk pohon palem setinggi 40 meter.
Bukan hanya di luarnya saja yang bagus, dalamnyapun
sangat mengagumkan dengan gantungan lampu bundar besar di langit-langit dalam
masjid serta sajadah panjang berwarna biru polos ini kadang membuat kami betah
lama-lama di dalam masjid.
Sepulang sholat Dzuhur di Grande Moschea aku
sangat terkejut ketika melihat seorang laki-laki tinggi berwajah Cina berdiri
dekat kursi taman pintu masuk asramaku dengan koper di sampingnya. Lalu aku
berlari meninggalkan Zahirah di belakang dan menghampiri laki-laki tersebut
serta memeluknya.
“AAAA…. Aku kangeeeeen…. Kemana saja kamu
selama tiga bulan ini tidak ada kabarnya?” Tanyaku sedikit terisak melepas
rindu dengan Chris tanpa melepaskan pelukanku.
“Aku juga rindu Cici. Maaf Koko sibuk
belakangan ini, dan kebetulan tiga hari ini aku libur makanya aku langsung
terbang untuk melepas rindu denganmu.” Jawabnya dengan mengelus rambutku dan
mengecup kepalaku dengan lembut. “Kau dari mana?” Lanjutnya setelah aku
melepaskan pelukkannya dan ia menghapus air mata bahagiaku.
“Dari Grande Moschea.”
“Sendiri?” Tanyanya heran dan melihat kearah
belakangku.
“Dengan teman sekamarku, namanya Zahirah,
dia dari Sisilia. Umur dan pekerjaannya sama denganmu.” Jawabku. “Zahirah, come here. He is my
boyfriend.” Aku memperkenalkan Chris kepada Zahirah.
“He’s your boyfriend?” Tanya Zahirah bingung
sambil menujuk ke arah Chris.
“Yup. Why?” Tanya ku yang ikut bingung
dengan pertanyaannya.
“No, no think.” Jawabnya masih bingung.
“Liyana Zahirah.” dia menangkupkan kedua telapak tangannya ke depan dada
memperkenalkan diri kepada Chris.
“Christian.” Chris memperkenalkan diri dan
ikut menangkupkan kedua telapak tangannya ke depan dada tanpa menyentuh tangan Zahirah.
“Christian?” Ulang Zahirah yang makin
terlihat bingung.
“Yes. Why?” Jawab Chris.
“No. I will back into the bedroom.” Pamit Zahirah,
lalu meninggalkan kami berdua setelah kami menganggukkan kepala dan tersenyum
pada Zahirah secara bersamaan.
“Kenapa dia terlihat bingung mengetahui aku
pacarmu?” Tanya Chris setelah Zahirah memasuki ruang asrama.
“Entahlah.” Jawabku mengangkat kedua bahuku.
“Cici udah makan siang?”
“Belum. Koko?”
“Koko sengaja ngga makan siang, pengin makan
siang bareng Cici. Tapi malah Cicinya pergi.” Chris menunjukkan wajah
kecewanya.
“Aduh kasian pacarku ini. Maaf aku mana tau
kamu mau datang kesini. Yaudah yuk kita makan di kantin asrama aja. Hari sabtu
gini jarang ada restaurant buka, kalau bukapun pasti penuh.” Ajakku menarik
tangan kiri Chris menuju kantin asrama.
Selama makan di kantin aku dan Chris bercerita
tentang banyak hal selama kami berpisah benua. Sejak kami berpisah benua kami
jarang berkomunikasi, di sisi biaya telepon yang sangat mahal, kamipun sibuk
dengan urusan kami masing-masing sehingga jarang mengirim email. Namun tiga
bulan belakangan ini Chris sama sekali tidak memberikan kabar dan membalas
emailku, sehingga aku benar-benar rindu dengannya.
Setelah selesai makan Chris memintaku untuk
mengantarnya mencari hotel di dekat kampusku. Karena sesampainya dia di Italia,
dia langsung menuju kampusku dan belum sempat istirahat, dari wajahnyapun
terlihat dia sangat kelelahan. Setelah mendapatkan hotel yang di kiranya cocok,
Chris kembali mengantarku ke asrama kampus, dan ia langsung kembali ke
hotelnya.
Saat memasuki kamar aku melihat Zahirah baru
selesai sholat. Lalu dia memandangku penuh tanya.
“Che cosa c’è?//Ada
apa?” Tanyaku bingung melihat ekspesi wajahnya ketika melihatku masuk
kamar.
“Tu già preghiera?//Kamu
sudah sholat?” Tanyanya menyelidiki.
“Isha? Non ancora.// Belum.”
“Asr? Maghrib?”
“Dimenticare.// Lupa.”
Jawabku polos dan merasa bersalah.
“Sholat lah sekarang sebelum kau kembali
lupa.” Zahirah mengingatkanku tetap dengan bahasa Italianya yang fasih.
Lalu aku berjalan menuju kamar mandi untuk
mengambil air wudhu dan kemudian sholat. Selesai sholat aku melihat Zahirah
tertidur di atas tempat tidurnya dengan buku yang masih di pegangnya. Lalu aku
mengambil buku tersebut dan menyimpannya di atas meja belajar kami. Dan akupun
langsung tidur di tempat tidurku setelah mematikan lampu kamar.
∞∞
Keesokkan paginya Chris menjemputku di
asrama. Chris memintaku untuk menjadi tour guide pribadinya selama dia di
Italia. Dan aku mengajaknya ke tempat yang tidak terlalu jauh dari Kota Roma,
aku mengajaknya ketempat wisata yang pernah aku kunjungi saat mengikuti tour
musim dingin dua tahun lalu seperti Bocca della Verità, Roman Forum, Colosseum,
Pantheon dan hingga ke Pissa. Hari ini kami benar-benar merasa sangat bahagia
setelah enam bulan kami tidak bertemu dan kini kami bertemu ketempat yang
sangat aku sukai. Setelah lama kami berjalan kaki kami beristirahat sejenak di
kursi pinggir taman Pissa, di dekat sini tidak terlalu banyak orang, para turis
lebih banyak memenuhi Duomo dan Leaning Tower di tengah taman.
“Aku seneng sekali sayang hari ini. Makasih
yah udah mau jadi tour guide pribadiku hari ini.” Ucap Chris sambil mengelus
kepalaku dengan lembut.
“Iya sayang, Cici juga seneng bisa jalan
bareng Koko lagi. Makasih yah udah mau dateng jauh-jauh dari Jakarta ke Roma,
maaf aku belum bisa pulang di saat kuliahku libur.” Kataku sedikit menyesal dan
aku menyandarkan kepalaku ke bahu kanannya Chris.
“Ngga apa-apa sayang, Koko ngerti kok.” Dan
Chris mengecup keningku dengan lembut. “Aku sayang banget sama kamu Bel.”
“Aku juga saayaaaaaang banget sama kamu
Chris.” Lalu aku memeluk erat perut Chris, menandakan rasa rindu dan sayangku
padanya.
“Aduh perutku sakit, jangan terlalu keras
dong meluknya.” Rintih Chris dan sedikit melonggarkan pelukan tanganku.
“Hehe.. maaaaf, abis aku kangen banget
Chris.” Sesalku dan melepaskan pelukkanku. Lalu Chris berdiri dari duduknya dan
aku bingung ketika ia berjongkok dengan posisi lutut kiri di tanah, di
hadapanku. Kemudian ia merogoh saku celana kirinya dan mengeluarkan kotak kecil
berwarna biru tua dari dalamnya.
“Bella, ti amo. Mi vuoi sposare?” Ucap Chris
membuka kotak kecil tersebut, terlihat sebuah cincin emas putih dengan berlian
kecil berwarna shapier blue di atasnya. Dan aku hanya menunjukkan ekspresi
sedikit kaget dan bingung.
“Kenapa? Apa ucapanku salah?” Tanya Chris
bingung.
“Memang apa yang kau ucapkan?” Tanyaku
pura-pura tidak mengerti.
“I love you, will you marry me. Salah yah?” Chris terlihat bingung dan
menggaruk kepalanya. Aku pun hanya menahan tawa ketika melihat tingkahnya.
“Nggaaa..” Jawabku masih menahan tawa.
“Kau tidak mau menikah denganku?” Tanya
Chris kecewa.
“Maksudku, ucapanmu tidak salah ..” Sebelum
aku sempat menjawab pertanyaan Chris handphone ku berdering, lalu mati ketika
aku belum sempat menerima panggilannya.
“Siapa?” Tanya Chris, masih dengan posisi
yang sama.
“Zahirah, tapi terputus. Bentar.” Jawabku
mengecek handphone.
Dua
pesan masuk dari Zahirah?
Batinku, ada apa dia mengirim dua pesan
dan menelfonku? Lalu aku membuka pesan yang masuk di handphoneku.
Messaggi
1:
Non dimenticare di preghiera Dzuhur, Bel.// Jangan lupa sholat Dzuhur, Bel.
Messaggi
2:
Non dimenticare di preghiera Asr, Bel.
Tanpa aku sadari aku meneteskan air mata. Zahirah mengingatkanku sholat. Aku sudah
melupakan sholat. Batinku.
Aku yakin, Zahirah khawatir ketika aku jalan dengan Chris aku melupakan
sholat, karena kemarin akupun melupakan waktu sholat. Ketika aku
mengingat-ingat kapan terakhir aku sholat ketika sedang jalan dengan Chris, aku
sama sekali tidak ingat. Aku tidak pernah ingat waktunya sholat ketika jalan
dengan Chris, karena memang dia tidak pernah sholat, dan aku terlalu bahagia
ketika sedang bersamanya sehingga melupakan waktu yang sedang berjalan.
“Kamu kenapa sayang? Apa yang terjadi dengan
Zahirah?” Tanya Chris khawatir lalu ia duduk kembali di sampingku.
Aku hanya menggelengkan kepala dan mengelap
air mataku. Lalu aku memandangi wajah dan mata coklatnya.
“Kau ingin menikah denganku?” Tanyaku
bimbang.
“Tentu Bel, aku mencintaimu.” Jawabnya yang
terlihat bingung. “Kau juga mencintaiku kan?” Tanyanya.
“Lalu bagaimana dengan perbedaan kita?”
Tanyaku dengan menahan air mata yang akan keluar.
“Ngga masalah, kita bisa menikah dengan
perbedaan kita. Selama ini hubungan kita baik-baik saja kan dengan perbedaan
ini?”
“Lalu kita akan menikah dimana?”
“Tentu di gereja.”
“Bagaimana caranya Chris? Aku seorang
wanita, dan dalam agamaku pria yang ingin menikahiku harus mengucapkan ijab
khobul di hadapan penghulu dan para saksi.” Tanyaku dan aku langsung menghapus
air mataku ketika menetes dipipi.
“Papih pasti ngga akan setuju dengan itu
Bel, kau tau sendiri papihku seperti apa.”
“Lalu apa ketika kita menikah di gereja
kedua orang tuaku akan setuju Chris? Pasti ngga akan setuju. Ayah dan bunda
pasti akan marah. Apa lagi kita merahasiakan perbedaan ini dari orang tuaku.
Pasti mereka bakal marah banget.” Aku menarik napas panjang dan menahan rasa
sakit di jantungku, air matapun mulai membanjiri pipiku ketika aku membuang
napas.
“Lalu apa idemu agar pernikahan kita
berjalan?”
“Dua kalimat syahadat.” Jawabku tanpa ragu.
“Ngga mungkinlah Bel, bisa di bunuh aku sama
papih. Kenapa ngga kamu aja yang di babtis?”
“Aku ngga bisa Chris. Selama enam bulan aku
di sini, aku belajar banyak hal tentang Islam yang sebelumnya aku dapat saat di
Indonesia. Dan itu membuatku merasa nyaman hidup disini walau jauh dari orang
tuaku.”
“Lalu harus bagaimana?” Tanya Chris sedikit
marah.
“Bisa kah kamu berkorban untuk ku Chris?”
Tanyaku dengan memasang wajah memohon.
“Berkorban? Kenapa ngga kamu yang berkorban
untukku Bel?”
“Kamu bilang kamu cinta denganku. Tapi
kenapa ngga mau berkorban untukku Chris?” Tanyaku sedih.
“Lalu bagaimana denganmu? Kamu juga bilang
cinta denganku. TAPI KENAPA HARUS AKU YANG SELALU BERKORBAN UNTUKMU BEL?
KENAPA?” Tanya Chris marah dan berdiri di hadapanku. Aku hanya bisa menangis diam
tidak bisa menjawab. “Kamu ingat saat Desember dua tahun lalu? Ketika kamu
bilang ingin pergi tour musim dingin di Roma denganku? Aku tidak jadi ikut
karena jadwalnya yang bentrok dengan ko’ass ku, tapi aku dateng ke Vinezia di
hari ulang tahunmu. Tapi apa sambutanmu untuk ku? Aku melihatmu berciuman
dengan Stefano di pinggir jalan. Sepulangnya aku mengajakmu ke Bali untuk
berlibur selama seminggu dan semua biaya aku yang nanggung. Lalu siapa yang
membawamu ke sini? Papihku Bel, beliau yang membiayaimu kuliah di Universitas
terbaik di Italia hingga asramanya. Dan sekarang, aku berada di hadapanmu, kamu
tahu aku rela jauh-jauh datang dari Indonesia ke Italia hanya untuk melamarmu.
TAPI APA PENGORBANMU UNTUKKU BEL? APA?! BAHKAN KAMU TIDAK PULANG KE INDONESIA
DI SAAT LIBUR SEMESTERMU.!” Lanjut Chris dengan amarah yang tidak pernah aku
lihat sebelumnya dan membuatku takut.
“Kenapa kamu jadi perhitungan Chris?”
Tanyaku takut.
“Siapa yang perhitungan Bel? Tadi kamu kan
yang nanya kenapa aku ngga mau berkorban untukmu? Dan sekarang aku yang balik
tanya, pengorbanan apa yang udah kamu lakuin buat aku?” Tanya Chris kesal.
“Maaf Chris jika selama ini aku ngga banyak
berkorban untuk mu, … maaf jika selama ini aku hanya bisa merepotkanmu, … maaf
jika aku membuatmu kecewa.” Jawabku dengan pipi yang di banjiri air mata.
“Lalu apa maumu sekarang Bel?” Tanya Chris
yang merasa kecewa.
“Aku ingin sholat Chris.” Jawabku. “Ini
sudah waktunya aku sholat Ashar.” Jelasku ketika melihat ekspresi bingungnya
Chris.
“Baiklah, apa ada masjid di dekat sini?”
“Grande Moschea, dekat Kota Vatikan.”
Jawabku cepat. Aku hanya mengetahui satu masjid di Roma.
Lalu kamipun pergi ke Grande Moschea. Selama
di perjalanan kami hanya terdiam seribu bahasa. Aku tidak tahu ada dimana
pikiranku selama kami berjalan, aku sering sekali menabrak turis yang
berpapasan denganku.
Sampainya di Grande Moschea aku langsung
mengambil air wudhu dan bergegas sholat Ashar. Selama aku sholat aku meneteskan
air mata, aku merasa bersalah dan berdosa sekali dengan Allah karena
meninggalkan kewajibanku sebagai umat muslim ketika berjalan dengan kekasihku
yang berbeda denganku. Selesai sholat akupun berdoa pada Allah, meminta
petunjuk untuk keluar dari masalah yang sedang aku dan Chris hadapi. Setelah
selesai akupun langsung berjalan menuju pintu keluar masjid, dan aku melihat
Chris duduk di anak tangga masjid dengan posisi kepala di tundukkan ke kedua
tangannya yang berada di atas lutut kakinya.
Apakah
dia sedang menangis?
Batinku. Aku hanya berdiri diam di 10 anak tangga di atas Chris duduk. Aku
hanya bisa melihat punggungnya dari atas, aku memperhatikannya cukup lama.
Jantungku mulai terasa sakit, air mataku menetes dengan cepat. Ingatanku
mengulang kembali ke waktu saat bersamanya, awal kami bertemu, awal kami jalan
bersama, awal aku mulai jatuh cinta dengannya, awal kami berpacaran, hingga
saat-saat bersama di Italia tahun lalu. Sudah banyak waktu, momen, dan
kebahagiaan yang kita lewati bersama.
Lalu aku cepat-cepat membersihkan air mataku
dipipi ketika melihatnya mengangkat kepala, dia terlihat lelah, aku bisa
melihatnya dari pundaknya saat dia menarik napas panjang dan membuangnya. Dan
aku berjalan pelan melangkah turun mendekatinya ketika ia menyerongkan tubuhnya
dan melihat kearahku.
“Aku lelah.” Katanya lalu berdiri dari
duduknya.
“Kembalilah ke hotel, aku akan di sini
hingga Isya. Zahirah sebentar lagi akan datang kemari.” Perintahku. Lalu
Chrispun berlajan gontai meninggalkan Grande Moschea.
Aku menunggu Zahirah di dalam masjid.
Zahirah selalu datang kemari setengah jam sebelum adzan magrib berkumandang
untuk melaksanakan sholat Magrib dan Isya. Selagi aku menunggu Zahirah, aku
membuka Al-Quran dengan terjemahan bahasa Italianya. Aku hanya membaca
terjemahannya saja, mencoba memahami isi kandungan dari Al-Quran tersebut.
Tidak lama kemudian, Zahirah datang dan
menghampiriku ketika ia melihatku sedang membaca Al-Quran. Setelah selesai
sholat Maghrib aku dan Zahira duduk di pinggir halaman masjid, aku menceritakan
semuanya pada Zahirah tentang hubunganku dengan Chris yang berbeda dengan kami,
aku menceritakan semua yang Chris katakan ketika di taman dekat Pissa tadi
dengan tersedu-sedu.
“Che cosa la prossima cosa faresti?//Apa selanjutnya yang akan kamu lakukan?” Tanya Zahirah
ketika aku selesai bercerita dan memberikan tisu untuk menghapus air mataku.
“Non lo so.//Aku
tidak tahu.” Jawabku bingung masih dengan wajah yang di banjiri air mata.
“Fine!//Akhiri!”
Ucap Zahirah dengan tegas. Air mataku makin deras dan dadaku terasa sangat
sakit ketika mendengar satu kata yang baru saja Zahirah ucapkan. “Non c’è alto
modo.//Tidak ada cara lain.” Lanjutnya ketika
melihat air mataku tidak berhenti mengalir. Dan aku hanya diam tidak bisa
mengucapkan satu katapun.
“Azan.” Zahirah mengingatkan, dan mengajakku
untuk masuk kembali ke dalam masjid ketika mendengar adzan Isya berkumandang.
Dan kamipun kembali masuk ke masjid dan melaksanakan sholat Isya.
Sepulang dari Grande Moschea kami kembali ke
asrama. Aku mencoba untuk tidur, namun hingga tengah malam mataku sulit untuk
di pejamkan, perkataan Chris dan Zahirah terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Bantalku kini basah di penuhi air mata dan ingus. Aku membalikkan tubuhku
memunggungi Zahirah ketika alarm Zahirah berbunyi. Aku pura-pura memejamkan
mata ketika alarm Zahirah berhenti berbunyi.
“Bel, Tahajud.” Zahirah menggoyangkan
pundakku dengan pelan.
“Hmm..” Responku masih dengan posisiku yang
berpura-pura tidur. Lalu Zahirahpun pergi ke kamar mandi.
Hingga Zahirah mematikan lampu kamar, aku
masih dalam posisiku saat Zahirah mematikan alarmnya.
Aku masih saja berkali-kali menggulingkan
tubuhku ke kanan dan ke kiri mencoba untuk tidur, namun hatiku gelisah,
pikiranku tidak karuan memikirkan semuanya. Hingga alarm Zahirah kembali
berbunyi, aku kembali memunggungkan Zahirah dan berpura-pura tidur. Sepertinya
Zahirah sedang sahur, karena aku dapat mencium bau makanan di dalam kamar.
“Bel, preghiera Alba.//Bel, sholat Subuh.”
Zahirah memukul-mukul pelan pergelangan tanganku ketika waktu memasuki subuh.
“ Sì.// Iya.” Jawabku pelan dan masih dengan posisiku yang
sama.
Ketika Zahirah sedang sholat aku bergegas
pergi kekamar mandi dan mengambil air wudhu. Selesai sholat aku pergi keluar
asrama setelah memberi tahu Zahirah. Aku tidak mau Zahirah tahu bahwa aku
semalaman hanya menangis dan tidak bisa tidur. Setelah Zahirah sholat Subuh dia
tidak pernah kembali tidur, namun membaca buku atau mengerjakan tugas
kuliahnya. Aku kembali ke asrama setelah aku benar-benar merasa tenang dan air
mataku tidak lagi keluar.
Hari ini aku tidak masuk kuliah, melainkan
mengantar Christ ke Bandara Fiumicino untuk kembalinya ia ke Indonesia. Selama
di perjalanan kamipun masih diam, Chris berbeda dari biasanya, dia lebih banyak
diam membisu dan selalu memalingkan wajahnya dariku.
“Chris, maafkan aku.” Ucapku ketika Chris
hendak memasuki pintu masuk bandara. Chris hanya berdiri diam melihatku dengan
wajah yang tidak dapat aku gambarkan. “Maafkan aku, aku sangat mencintaimu, dan
maaf, aku ngga bisa berbuat banyak untuk hubungan kita.” Lanjutku. Dan Chris
masih diam di tempatnya.
“Mungkin lebih baik hubungan ini kita akhiri
saja.” Ucapku setelah tidak ada respon apa-apa dari Chris. Dan iapun masih
tetap diam dengan ekspresi wajah yang benar-benar tidak dapat aku gambarkan.
“Aku harus chek-in”. Ahkirnya ucap Chris
lalu meninggalkanku di depan pintu masuk bandara. Air mataku mulai menetes, dan
jantungku sakit sekali, rasanya seperti di ikat dengan benang senar yang tajam
kemudian di tarik untuk lepas dari tempatnya.
*FINE//SELESAI*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar